Membiasakan Sendirian (1)




Saya hadir ke dunia ini secara prematur, dalam usia kandungan 6,5 bulan; dari kedua orangtua yang menikah di usia cukup muda; 26 dan 22 tahun. Lahir dengan berat 1,7 kilogram, membuat saya harus berada di inkubator selama satu bulan. 

Lambat laun, dampak dari kondisi prematur itu mulai terlihat. Bagian kanan anggota tubuh saya, khususnya tangan dan kaki mengalami sesuatu yang disebut cerebral palsy. 

Melansir website Halodoc, cerebral palsy punya tiga tingkatan. Ada cerebral palsy spastic, athetoid, dan ataxia.

Tiga jenis ini pada intinya berciri hampir sama, yaitu sulit merilekskan otot, punya masalah pada kemampuan pengendalian otot, juga bermasalah dalam keseimbangan dan koordinasi tubuh.
Bagi saya, kondisi yang saya alami ini adalah perpaduan dari ketiganya. 

Kaki dan tangan kanan saya mengalami kekakuan. Pertumbuhannya tidak seragam dengan bagian kiri, hingga sebabkannya jadi jinjit. Tangan kanan juga. Jari-jarinya terlihat berbeda dengan yang kiri.
Saya tak tahu awalnya mengapa bisa kidal. Mungkin, karena saking kakunya, dulu tangan kirilah yang dilatih menulis. Entah, saya tidak ingat soal itu. 

Tak hanya itu, saya juga punya masalah dengan keseimbangan tiap kali berjalan. Seringkali butuh berpegangan pada benda-benda di sekitar, agar tidak jatuh. Jenis alas kaki juga jadi hal yang cukup berpengaruh. Saya harus memakai sepatu bertali atau sandal karet yang kuat, agar tak mudah lepas saat dipakai berjalan. 

Saya juga cenderung lamban mengerjakan beberapa hal. Contoh sederhananya, memakai sepatu, melepas dan memakai baju, juga memasang kancing. Maka, saya akan selalu dibantu oleh orangtua atau orang sekitar, agar lebih cepat. Itu semua sempat terjadi cukup lama, beberapa tahun.
Tapi, sejak adik saya lahir, saya "dipaksa" bisa melakukan hal-hal sederhana itu sendiri. 

Namun, sesungguhnya saya belum semandiri itu. Tidak bisa mengendarai motor, apalagi mobil, membuat saya harus diantar ke manapun. Naik dan turun motor pun tidak sesederhana itu buat saya. Terhitung, sejak saya lahir hingga kuliah, saya selalu diantar ke manapun, oleh orangtua atau adik saya. Adik memang sudah belajar naik motor sejak SD, dan belajar menyetir mobil sejak SMA. 

Tapi rupanya, hidup ini memberi saya sebuah kejutan. Perjalanan pertama yang saya alami, tepatnya di Nopember 2012. Malang menjadi tujuan pertama saya bepergian seorang diri dengan travel. Kala itu, saya habiskan hampir seminggu di sana demi persiapan ikut SNMPTN. 

Di sela-sela pengurusan data dan persiapan ujian, ada banyak pengalaman baru yang saya dapatkan. Berkunjung ke kontrakan teman di kawasan Merjosari, naik mikrolet ke kampusnya, juga naik becak motor dan berjalan kaki menuju Taman Sigha. 

Maka, meski dalam SNMPTN itu saya gagal, sederet pengalaman tadi cukup berhasil mengobati kekecewaan saya. 

Rupanya, pertemanan saya dengan travel masih berlanjut. 3 April 2014, ia mengawani saya menuju Malang lagi. Melaju cukup cepat pada dinginnya subuh hari. Mengiringi duka mendalam selepas Eyang Kakung berpulang. 

Sejak saat itu, rasa percaya kedua orangtua saya terus tumbuh. Kekhawatiran pun makin memudar. Bukan hilang. Rasa itu masih melingkupi benak beliau berdua, terutama pada diri Ayah.[] 

Bersambung...

Nb. Foto pelengkap ini adalah tangkapan layar dari aplikasi Spotify. Saat mendengarkan lagu Coldplay ini, saya tersentak di bagian lirik ini.

Posting Komentar

0 Komentar