Sepiring Siomay dan Kata Maaf

Kau diam tanpa kata, kau seolah jenuh padaku...





Seisi kamar dingin. Angka 23 tertulis di layar remote sebagai penunjuk suhu. Aku duduk berteman laptop yang menyala. 

Di layar, nampak senyum tipis Ello tersungging manis, berpadu dengan senyum riang nan grogi milikku di sampingnya.

Di hadapan, sepiring siomay yang mendingin menunggu dalam diam. Dia datang sejak tadi siang, katanya menungguku pulang.

Kubuka bungkusnya yang basah itu perlahan. Kusingkirkan kubis dan bumbu kacang. Kutuang beberapa tetes saus pedas.

Malam ini, aku pulang bersama penat. Seisi kepala padat; riuhnya segera menular ke ruang hati.

Saban hari selalu menyuguhkan kejutan yang ada-ada saja. Tapi, bukankah hidup memang selalu penuh kejutan?

Tawa dan tangis bisa hadir tanpa aba-aba. Bahagia dan amarah bisa bertukar peran kapan saja. 

Dua jam lalu riang, lalu kini garang. Pagi tadi banyak bicara, malam ini mendadak diam tanpa kata.

Emosi silih berganti hadir, tak bisa diterka, seringnya tak siap dihadapi.

Ada pilihan untuk luapkan segalanya, ada pula keputusan untuk memendam saja.

Keduanya tak salah. Keduanya sama-sama punya sisi baik dan buruk.

Tapi, diantara ragam emosi itu, diri kerap kali lupa pada satu.

Maaf.

Sebuah kata sederhana yang entah mengapa begitu sulit diungkapkan. Ada saja alasan untuk menahannya.

Gengsi lah, malu lah, enggan lah, dan entah apalagi. Semuanya alasan klise. Semua hanya punya satu kesimpulan. Ego.

Jika saja segala alasan klise tadi bisa dienyahkan, lalu masing-masing diri mampu menelan ego dalam-dalam. Jika saja setiap mulut bisa mengucap kata maaf dengan hati ringan...

Mungkin, lirik lagu d'Masiv di atas tak tercipta, karena begitu jarang terjadi dalam kehidupan. Namun, kenyataannya, tidak.

Lihat aku, coba kau mengerti. Ini semua bisa teratasi. Resapilah semua yang pernah kita lakukan.

Baiklah, mari kembali pada sepiring siomay; yang makin dingin dan tambah pedas.[]

Tertulis bersama iringan lagu "Diam Tanpa Kata" milik d'Masiv


Posting Komentar

0 Komentar