Tanpa Pilihan




mungkin, hidup ini kujalani seperti kopi. tak ada pilihan selain rasa pahit.

Jika Dee Lestari punya buku berjudul Tanpa Rencana, maka sepertinya tajuk hidupku adalah tanpa pilihan.

Bagaimana rasanya, jika seluruh lini hidupmu telah ditentukan? Sekolah di sini, ambil jurusan ini, bekerja di sini.
Tanpa bisa mengeluh, tak sanggup menolak.

Lalu, saat kamu ajukan pilihan lain, ramai komentar menyerang. Dapat gaji berapa di sana? Apa bisa menjamin hidupmu ke depan? Sudahlah, bertahan saja dulu. Bersyukurlah. Bantulah mereka.

Hidup itu keras, begitu yang kerap mereka bilang. Tapi, mungkin mereka lupa, dipaksa hidup tanpa pilihan, itu juga keras; dan pelan-pelan jadi menyakitkan.

Hidup itu keras, memang benar. Layaknya airmata yang mengucur deras semalaman, sendirian. Namun, saat hari berganti dan menghadapi mereka, tawa harus kembali menggema. Mengulas senyum lebar, tampakkan wajah biasa. Semua baik-baik saja, begitulah mengartikannya.

Sebentar lagi, ada yang mohon diri; lagi. Bersama segala kata yang terangkum jadi satu istilah, "mengejar impian".
Lalu, apa yang bisa dilakukan selain mengiyakan?

Namun, diam-diam sepasang kaki ini iri. Jiwa meronta dan bertanya. Lalu, kapan giliranku? Kapan aku bisa berlari juga? Aku juga punya mimpi!

Waktu pun tersenyum bijak. Perlahan usap airmata, basuh sembab, peluk erat sejenak.
Kemudian, ia berujar pelan.

Tenanglah. Hidupmu masih punya pilihan. Mungkin pahitnya penuh, tapi tak seluruh. Ada legit yang sempat terasa, dan masih membekas hingga kini. Kalau kamu bertanya, apa contohnya. Lihat apa yang terpampang di layar laptopmu itu?

Maka, tenanglah. Jalani sekuatmu, meski airmatamu sarat. Yakinlah bahwa tawa akan sering hadir setelah ini. Mungkin, bisa bertemu dengan musisi kesayanganmu itu, lagi? Mohonkan saja pada-Nya, jangan berhenti.[]

Posting Komentar

0 Komentar