Gala Premiere Buya Hamka : Menatap Harap

 "Iman tanpa ilmu, bagaikan lentera di tangan bayi.
Sementara, ilmu tanpa iman, bagaikan lentera di tangan pencuri."
-Buya Hamka 

Bagian Kedua 

Minibus putih melaju dipayungi gelapnya langit. Saya duduk di jok tengah, dengan seutas earphone di telinga. Instrumen piano yang terdengar dari sana berusaha membuat saya tertidur. Tapi mata ini tak kunjung memejam, sebab terlalu penasaran dengan apa yang terjadi esok hari.






Namun, kadar sabar harus ditambah, seiring dengan kemacetan yang makin mengular. Baiklah, sepertinya saya harus benar-benar tidur kali ini. 

*** 

Jam satu pagi. Seisi rumah lengang, lampu utama telah dimatikan. Tapi, lampu kamar ini masih terang. Saya terjaga, masih ditemani buku ini, yang memang sengaja saya bawa. 




Masih di awal bab dua, saat bacaan saya hentikan. Tidak, jangan dilanjutkan dulu. Rasa penasaran saya membesar. Baiklah, mari tidur saja. Ada waktu sahur yang harus dijelang, nanti. 

Selepas Subuh, hari terasa cepat berlalu. Tak terasa sudah setengah satu siang. Saatnya menuju tempat itu, dan lihat, ada kejutan apa yang akan disuguhkan. 

*** 

Separuh deg-degan, langkah tertatih saya memasuki tempat ini. Terakhir kali, tempat ini saya datangi demi film Ngeri-Ngeri Sedap. Bioskop yang berada di dalam pusat perbelanjaan di jantung Kota Malang itu bernuansa beda siang ini.






Terdapat meja registrasi dengan dua petugas. Sebuah poster film terbingkai cantik, tepat di belakang meja itu. Poster yang sudah (terlalu) sering saya lihat beberapa minggu terakhir ini. Senyum saya terbit. Debar di dada pun belum hilang. Perlahan, saya dekati meja, dan petugas menanyakan nama saya. Beberapa menit kemudian, selembar tiket ada di genggaman.




Perasaan ini campur aduk, tapi terharulah yang mendominasinya. Teringat, Jumat malam lalu, saat saya meminta ijin Ayah untuk datang ke sini dengan rasa deg-degan yang sama. Dan, separuh takjub saya kala itu. Ayah mengiyakan, tentu disertai sederet pesan. Saya mengangguk dan tersenyum. 

*** 

Studio lima mulai padat dengan penonton ber-dresscode putih. Sesaat, saya merasa salah kostum dengan setelan hitam abu-abu favorit ini. Tapi biarlah, cuek saja. Toh, tak ada yang mengenal saya di sini. Tak ada yang berkomentar juga. 

Lampu studio mulai dimatikan. Penonton yang tadinya riuh mengobrol dan berfoto, kini senyap. Semua mata tertuju pada layar lebar di hadapan. Saya sudah memerhatikannya sejak awal masuk ke sini. 

*** 

Sebuah adegan pembuka sebelum opening title, menghadirkan sosok renta Buya Hamka di dalam selnya. Tertatih-tatih ia keluar dari sana, menyambut hadirnya istri dan ketiga putranya. Kemudian mereka menyuguhkan gulai ikan favorit Buya. Agak bergetar kedua tangan keriput itu saat menerima rantangnya. Dilahapnya masakan sang istri bersama linangan airmata haru. 




Adegan cukup singkat itu saja sudah mampu membius jiwa, diikuti melelehnya airmata. 

Alur dan pembangunan cerita di sepanjang film ini mampu membuat perasaan saya campur aduk. Terharu, marah, tegang, sedih, kadang juga diselingi senyum dan  tawa karena satu-dua dialog lucu, juga sejumlah perbincangan romantis. 

*** 

Waktu dua jam terasa cepat bergulir. Kesadaran saya utuh saat seisi studio terang kembali. Film tadi sungguh luarbiasa. Bukan saja karena alur dan rangkaian ceritanya, tapi juga ansambel pemain yang saling melengkapi, dengan kualitas akting mumpuni.




Masih terekam jelas di kepala saya, bagaimana ekspresi Buya Hamka saat marah, gembira, juga raungan tangisnya karena sedih yang mendalam. Dalam cintanya pada sang istri. Tegas sekaligus lembutnya ia pada anak-anak. Hormatnya pada ayah ibunya. Semangat juang tinggi yang ia tularkan pada kawan-kawannya. Piawainya ia merangkai kata dalam tulisan, juga dalam membangkitkan semangat masyarakat. 

*** 

Mungkin, film ini akan terasa agak membosankan bagi segelintir orang yang malas membaca subtitle, karena 90 persen dialog dalam film ini memang menggunakan bahasa dan logat Minang lama.
Namun, coba telatenlah sedikit saat menonton ini. Bukan bosan, justru kesan mendalam yang akan membekas di hatimu seusainya.


Vino G Bastian dan Reza Rahadian dalam Gala Premiere Film Buya Hamka. From Instagram @officialpilarez.

Buat saya pribadi, momen ini tentu amat berkesan. Ini pertama kalinya saya nonton film sendirian, dalam sebuah Gala Premiere pula. Meski tanpa kehadiran aktornya; seperti layaknya sebuah Gala Premiere, tapi saya begitu menikmati gejolak rasa dalam diri sepanjang dua jam tadi.




Dan untuk Vino Giovanni Bastian; setelah Chrisye dan Kasino, Buya Hamka adalah tokoh yang paling berhasil kamu perankan. Semoga Piala Citra segera berada di genggamanmu lagi berkat film ini.[]

Foto : Instagram @vinogbastian__ @falconpublishing @falconpictures, dan dok. pribadi.

Posting Komentar

0 Komentar