Ketika Yangti Pergi




Masih lekat dalam benak. Malam itu, 16 Maret 2022. Laptop terbuka, menampilkan Afgan yang tengah bernyanyi di acara ulangtahun sebuah televisi ternama. Suara saya terdengar cukup lantang mengikuti suara Afgan yang membawakan lagu barunya; sesuatu yang telah lama tak jadi kebiasaan lagi.

Hingga kemudian suara saya dihentikan panggilan Mama dari luar. Sejenak saya heran. Mama belum tidur jam segini? Keheranan saya berlanjut saat mendengar ucapan Mama.

"Buka grup WA, Din."

Segera saya melongok ponsel yang memang selalu dalam mode diam. Benar saja, ada satu notifikasi di Whatsapp, dari grup keluarga besar.  Saya membukanya dengan separuh penasaran, separuh deg-degan.

"Ibu sedo, jam 23.40."

Begitulah kalimat yang tertera di layar. Pesan itu dikirimkan Pakpuh Eka, putra pertama Yangti. Malam itu, beliau memang menemani Yangti di rumah sakit.

Saya membeku. Ada banyak rasa asing menyusupi hati. Tak percaya, ada. Sedih, sudah pasti. Namun, anehnya, ada secuil kelegaan.

Bukan, bukannya saya senang atas kepergian Yangti. Tapi saya sedikit lega, karena akhirnya Yangti terbebas dari rasa sakit dan segala peralatan medis itu.

***

Ingatan saya mundur ke sebulan sebelumnya, kala kondisi Yangti mendadak kritis di tengah-tengah makan. Untunglah sore itu, Mbak Rika, yang biasanya merawat Yangti belum pulang. Dengan sigap, ia langsung melakukan tindakan untuk mengembalikan denyut nadi Yangti.

Saya sempat blank sebentar kala itu. Hanya bisa terdiam dalam kebingungan, hingga akhirnya sanggup menelepon Mama dan memanggil Paman dan istrinya yang masih bekerja. Tergopoh-gopoh mereka bertiga masuk kamar Yangti, dan membisikkan kalimat-kalimat dzikir.

Saya melihat itu semua, masih dengan keterkejutan dan kebingungan yang tersisa. Seisi dada saya berdegup kencang. Tegang. Tak lama kemudian, Tante saya datang dan terduduk di samping saya. Isak tangisnya terdengar lamat-lamat, bertanya bagaimana bisa kondisi Yangti jadi seperti ini. Sebuah tanya yang saya pun tak tahu apa jawabnya.

Untunglah, ketegangan itu mereda. Denyut nadi Yangti kembali lagi. Masker oksigen pun segera dipasangkan. Untunglah, persediaan tabung oksigen masih ada.

***




Peristiwa itulah yang akhirnya membawa keputusan, Yangti harus dirawat lebih intensif di rumah sakit. Malam itu, 27 Pebruari. Yangti dibawa keluar dengan brankar dari kamar pribadi beliau di rumah. Raungan sirene mengiringi perjalanan beliau ke sebuah rumah sakit daerah. Langkah inilah yang akhirnya ditempuh, setelah selama dua minggu belakangan Yangti sulit makan dan terlalu banyak tidur.

Setiba di sana, kesadaran  Yangti berangsur pulih. Syukurlah, beberapa hari kemudian kondisi Yangti membaik. Namun, setelah itu menurun. Lalu stabil. Menurun lagi. Hingga akhirnya dilakukan pemantauan intensif dengan dipasangnya Elektrokardiografi (EKG).

***

Sore itu, hari Selasa. Sudah hampir setengah lima. Ternyata, Mama belum ada di rumah. Beliau masih di rumah sakit, di dalam ruang rawat Yangti.

"Mama mengamati angka di EKG, naik turun terus," 

Begitu tulis Mama dalam pesan. Saya tertegun. Teringat, siang tadi Tante pun meninggalkan kesibukannya sebentar demi menuju rumah sakit. Ada dorongan kuat ingin menuju ke sana, katanya.

Saya terdiam. Banyak pikiran berkecamuk dalam benak. Semoga Yangti baik-baik saja.

***








Namun ternyata, harap itu hanya tinggal harap. Sehari setelahnya, di hampir tengah malam, pesan duka itu tiba tanpa aba-aba.

Mama dan Ayah segera menuju rumah depan, yang hanya berjarak duapuluh langkah saja dari rumah saya. Sementara, saya masih mematung. Ditemani kesunyian dan banyak rasa di dalam hati.  Saya pun merapikan ruang tamu sebentar, tak lupa saya kirim pesan pada Mbak Rika, mengabarkan ini. Kemudian menyeret langkah ke kamar mandi.

Setelah menukar pakaian dengan kaus dan rok panjang, saya pun menyusul ke rumah depan. Saat itu hampir pukul tiga pagi. Di areal rumah paling depan, sejumlah lelaki telah berkumpul, termasuk Ayah. Semua putra-putri dan menantu Yangti pun telah datang. Oh ya, hanya Pakpuh Kris yang belum tiba. Beliau beserta istrinya masih dalam perjalanan dari Gresik.

***


Sekitar setengah jam kemudian, dua sepupu saya, Akmal dan Hilmy muncul, diiringi Almira dan Danang, suaminya. Paling belakang, ada putra pertama Yangti, Pakpuh Eka. Wajahnya tampak lelah.

Ternyata jenazah Yangti telah tiba. Rasa asing itu makin melingkupi benak saya, apalagi saat saya ikut melihat proses memandikan jenazah. Hati saya perih melihat cukup banyak lebam di lengan Yangti, bekas jarum infus.

***




Menjelang Subuh. Saya terduduk diam di kursi, membaca sekilas-kilas beberapa ucapan duka cita yang masuk di kotak pesan. Saya memang sempat mengunggah foto Yangti disertai beberapa kalimat yang mengabarkan wafatnya beliau.

Bersamaan dengan itu, kantuk yang sejak tadi lenyap, menyerang bertubi-tubi. Saya berusaha keras menahan agar tak terlelap. Namun, ternyata saya gagal. Kepala terkulai di sandaran kursi, seiring mata yang memejam.

***

"Mbaak..Yangti, Mbaaak..."

Rasanya lelap saya baru sekejap, saat sapaan yang berlanjut dengan pelukan itu membangunkan saya seketika. Dalam pelukan, saya dengar isak samar. Barulah kesadaran saya pulih sepenuhnya. Rupanya ini Mbak Rika, yang sudah tiba sepagi ini.

Dalam hati, saya bingung bagaimana cara menenangkan orang menangis. Maka, saya hanya bisa mengelus bahunya beberapa saat, sebelum pelukan itu dilepas. Barulah saya melihat wajah sembab dan mata merah Mbak Rika. Dada saya terasa sesak, tapi masih tak ada airmata yang keluar.

***




Sekitar pukul sembilan pagi, Yangti sudah selesai dikafani dan dishalatkan. Keranda dibawa ke halaman, bersiap diberangkatkan. Keluarga Pakpuh Kris pun sudah datang. Di tengah ruangan yang padat pelayat, saya berusaha keluar. Meski beberapa orang melarang, saya bersikeras. Saya ingin menemani Yangti untuk kali terakhir.

Di halaman, tenda hijau dan barisan kursi telah tertata. Kursi itu hampir penuh oleh belasan; atau mungkin puluhan bapak. Jenazah Yangti telah berada di keranda berselimut kain hijau. Terdengar suara Pak Ustadz memberi tausiyah singkat sebelum memimpin doa.

"Bagaimana Bu Sutinah semasa hidup? Apakah beliau orang baik?"

Begitu tanya Pak Ustadz dalam Bahasa Jawa. Para pelayat kompak mengiyakan pertanyaan itu. Saya ikut mengiyakan dalam hati, lalu merenung. Membuka lagi lembar-lembar kenangan bersama beliau, sejak saya lahir hingga kini.

***

Pandangan saya menyapu sekeliling. Putra-putri Yangti ada di sana. Begitu pula beberapa sepupu. Saya tertegun saat menatap Almira. Pelupuk matanya basah. Wajahnya memerah. Begitu pula Mbak Rika, yang berdiri tak jauh dari tempat saya duduk. Bahunya naik turun, wajahnya pun masih sarat airmata.

Sejenak, saya merasa heran dengan diri ini. Mengapa sejak tadi saya tidak menangis? Kenapa saya seaneh ini?

Lamunan saya buyar saat Pak Ustadz mulai memimpin doa. Mata saya terpejam. Dada terasa makin sesak. Sebelum keranda dimasukkan ke ambulans, putra-putri dan beberapa sepupu melakukan brobosan. Namun, saya tak ikut melakukannya, karena takut jatuh.

Brobosan berarti menerobos, yaitu jalan bergantian sebanyak tiga kali di bawah keranda atau peti jenazah yang sedang diangkat tinggi-tinggi. Dimulai dari sebelah kanan, ke sebelah kiri, ke depan, hingga kembali ke sebelah kanan (From: jatim.suara.com).

Sirene ambulans mulai terdengar, seiring keranda yang telah berada di dalam. Ambulans pun berlalu. Mata saya terpejam sekali lagi, dan jebollah segala pertahanan. Sesak di dada kini berganti derasnya airmata. Seakan hati berteriak. Yangti, jangan pergi dulu. Dinda masih mau suapi Yangti, masih mau nemenin Yangti...

***




Saya beranjak ke dalam bersama Bude Elly, masih dengan wajah basah. Tak saya hiraukan semua pandangan yang tertuju pada saya kala itu.

Saya pun masuk ke kamar Yangti dan duduk di kursi yang sama. Akhirnya, hari ini tiba, setelah hampir lima tahun perjuangan Yangti menaklukkan sakitnya. Memandangi sekeliling kamar Yangti, ada rasa sesal mengiringi. Rasanya, waktu saya menemani beliau masih kurang. Masih banyak kesalahan yang ingin saya perbaiki.

***

Tapi, begitulah. Penyesalan selalu tiba belakangan. Kini hanya kumpulan kenangan, kangen, dan rangkum doa yang tersimpan. Terimakasih Yangti, telah membersamai Dinda di hampir 30 tahun ini. Terimakasih untuk segala doa, sabar, dan perhatian yang telah diberi. Maafkan semua salah Dinda, ya Ti...




Semoga Yangti bahagia, dan sudah bertemu Kung Sidik di sana. Tolong, doakan Dinda juga dari sana, ya. Sebab, setelah Yangti pergi, hari berikutnya tak pernah sama lagi dan makin tak mudah dilalui.[]

20 Mei 2022

Foto Bercerita:
1. Yangti sebelum sakit, sekitar awal 2017
2. Yangti dan saya di Kampung Coklat
3. Yangti saat beribadah Haji, 2008
4. Yangti bersama Mbak Rika di rumah sakit
5. Kung, Yangti, dan Dinda kecil
6. Yangti di Hari Raya Idulfitri, sekitar 2019
7. Makam Yangti, bersebelahan dengan Kung












Posting Komentar

0 Komentar