Lelah dan Menyerah




Baru setahun lebih, tapi rasanya sudah lama sekali saya tak menginjakkan kaki di tempat ini. Tempat yang sempat saya akrabi beberapa tahun lalu demi Tugas Akhir Kuliah.

Dalam langkah tertatih berkawan bayangan, saya disambut wajah baru sejumlah sudut yang menakjubkan. Renovasi ini tak main-main rupanya. Apalagi saat memasuki lobi dan ruang baca. Rasanya senang sekaligus asing.

Melangkah sedikit lagi, saya tiba di depan Ruang Koleksi Khusus. Kali ini saya heran. Mengapa sepi sekali di sini? Hanya ada empat petugas yang mempersilakan saya masuk dan duduki bangku kosong. Melongok ponsel, sudah hampir pukul dua. Saya kira, saya sudah sangat terlambat. Tapi justru seorang diri.

Kedatangan Zulfa sedikit melegakan. Kami segera berpindah ke Ruang Baca Koleksi Umum. Ternyata di sana sudah ada Pak Prayitno. Beliau memang datang sejak beberapa jam lalu untuk meminjam buku dan memperbarui kartu anggota.

Kami bertiga mengobrol ringan, sembari menunggu barangkali ada yang akan datang lagi. Dalam hati, tentu saya berharap setidaknya ada dua-tiga orang lagi yang datang siang ini. Tapi harap itu ternyata memang hanya sebatas harap.

Dengan serpih semangat tersisa, saya membuka forum siang itu. Buku bersampul jingga terbuka. Terbacalah ringkasan yang sempat saya buat sejak dua hari lalu. Teringat lagi bagaimana saya cari referensi untuk materi Obituari ini; yang memang saya usulkan sendiri. Sebab, saya pikir, materi seputar Blogger sudah terlalu sering dibahas. Saya pun telah menyiapkan sejumlah contoh obituari. Semua sudah saya siapkan sebisa saya, di tengah hari kerja yang cukup padat.

Sejak awal mengiyakan tawaran itu, sesungguhnya saya sendiri pun tak berani berharap banyak. Saya hanya ingin membantu, membagikan apa yang saya tahu, sebisa saya. Namun, ketika melihat nyata siang ini, harapan saya yang sedikit itu pun tersedot habis.

Penyampaian materi sekadarnya itu pun berakhir di pukul tiga. Suara petugas telah terdengar di seantero ruangan, mengabarkan bahwa perpustakaan akan segera tutup. Saya berjalan ke pintu keluar bersama Zulfa, namun setelah itu kami berpisah.

Saya berjalan sendirian menuju tangga teras yang juga tampak baru. Duduk di sisi kiri sambil menekan-nekan ponsel, memesan tumpangan. Dalam penantian, memori saya pulang ke masa lalu.

Dahulu, temu rutin seperti ini selalu ramai. Seingat saya, jarang sekali selepas rutinan saya langsung pulang begini.  Biasanya, saat semua layanan telah tutup, saya masih duduk di selasar, bertukar cerita atau berfoto dengan mereka yang kini entah di mana.

Tiba-tiba, sebuah motor terhenti tak jauh dari tangga yang saya duduki. Pengendaranya yang berjaket hijau segera saya kenali sebagai tumpangan yang saya pesan tadi. Ah, sudah tiba, rupanya. Lamunan saya buyar sudah.

Dalam laju motor yang berlalu meninggalkan tempat sarat kenangan itu, saya menyadari sebuah luka. Ya, saya dilukai harap saya sendiri, hari ini. Ingin setinggi langit untuk dapat menghidupkan lagi keluarga ini, sepertinya terlalu berlebihan, hingga berhasil menjatuhkan saya sedemikian rupa.

Saya sadar, semua kini memang tak lagi sama.
Maka, apakah ini saatnya bagi saya untuk merasakan lagi lelah dan menyerah?[]

Setelah sore itu, 12-12-21





Posting Komentar

0 Komentar