Di Kedai Hari Itu





Sejak tiba pukul tiga, gadis itu duduk di sana. Pada sebuah sofa coklat di dekat pintu masuk, juga dekat dengan jendela, dan mesin pendingin yang terpasang di atas.


Usai bertukar sapa dengan pasangan muda pemilik kedai dan memesan sejumlah menu, gadis itu kembali duduk dan tenggelam bersama buku bersampul keemasan yang ia keluarkan dari tasnya. Buku itu masih terlihat baru.

Beberapa menit perasaannya diombang-ambingkan cerita racikan Dee Lestari. Namun bosan datang dan berhasil menyerang. Matanya beralih pada meja, melahap camilan yang telah tersaji. Croffle empuk bersalut cokelat bersama lembutnya eskrim vanila menciptakan paduan enak di lidah.

Dari tempatnya duduk, pelan kepalanya menoleh ke bagian tengah kedai. Tiba-tiba, matanya tertarik jadi pengamat. Dari ujung kiri. Di sana bertengger seperangkat mesin kopi. Di depannya, terdapat gelas sedang berisi beberapa bungkus gula, serta dua boks kopi dari sebuah kedai di Surabaya. Di sebelahnya, ada maneki neko, si kucing emas khas Negeri Panda, tak lelah melambaikan tangan kanannya.

Sekantong bubuk kopi khas Gayo terletak di sampingnya. Warna merah mudanya sejenak menarik mata. Ada pula satu boks kopi berdominasi warna marun. Sepertinya itu jenis kopi bercita rasa beri-berian. Mesin kasir diam di sampingnya, berjajar dengan etalase kudapan. Lurus di belakangnya, ada sebuah microwave berukuran sedang. Kembali ke depan, di sisi kanan, lengkap tersedia tisu dan cairan antiseptik pembersih tangan. Terakhir, posisi paling ujung dihuni sebuah teko berisi infused water, lengkap dengan gelasnya.

*

Pandangan gadis itu kembali pada buku baru di pangkuannya. Buku yang tiba beberapa jam lalu itu sempat menceriakan hatinya. Namun, setiba di kedai ini, ia mendadak tak antusias dengan buku itu, dan malah terlalu sibuk dengan suara pikirannya sendiri.

Di meja, shaken espresso yang ia pesan tinggal seperempat. Begitu pula kudapan bernama Amann, yang sepintas mirip cinnamon rolls. Entah apa yang membuat gadis itu tak kunjung menandaskannya.

Suara pikirannya masih terdengar riuh rendah. Entah karena itu, atau perutnya yang masih terasa kenyang berkat seporsi croffle cokelat yang telah ia tandaskan sebelumnya.

*

Selang beberapa menit, pengunjung datang silih berganti. Ada perempuan berkacamata, berjilbab biru gelap, yang datang sendirian dan memesan seporsi croffle dan infused water. Ada pula sepasang muda-mudi dengan bincang mereka yang mendominasi seisi ruangan. Usai memesan, mereka memutuskan duduk di area luar kedai.

Kemudian, ada empat gadis muda, sepertinya saling berkawan. Mereka mengambil tempat di bangku terdekat dengan meja bar, pas untuk empat orang. Tiga gadis lain tiba setelahnya, menduduki bangku semen panjang di teras kedai.

Tiba-tiba, gadis berkacamata yang sendirian tadi beranjak pamit. Tepatnya saat pukul setengah lima. Setelah itu, siapa lagi yang datang dan pulang, entah. Ia tak ingat lagi.

*

Panorama senja mulai tergambar. Langit yang sejak tadi berkilauan mentari berganti wajah jadi kelabu. Hawa dingin ciptaan mesin masih terhembus, makin menerbangkan khayal gadis itu ke mana-mana. Untunglah tadi ia memilih kaos rajut lengan panjang. Gigil tak terlalu ia rasakan berkatnya.

Pyaaar!

Sebuah suara seketika membuat wajahnya terangkat. Seisi kepalanya buyar sudah. Di hadapannya, sepasang lelaki dan wanita nampak panik. Rupanya, lelaki berambut cepak itu tak sengaja memecahkan gelas. Kopi yang menyisakan ampas turut berceceran. Ah, ya. Wanita dan lelaki itu sudah sekitar satu jam ada di kedai. Sejak awal tiba, mereka intens bertukar cerita. Sebelum insiden gelas pecah itu mengakhiri semuanya.

Kedua pemilik kedai, seorang lelaki berpostur tinggi dengan rambut gondrong dan perempuan berjilbab krem sigap mengambil sapu dan pel. Bergantian membereskan pecahan gelas dan ceceran ampas kopi.

Jelang jam tutup kedai, mereka justru mendapat kesibukan tambahan, begitu batin gadis itu.

Seketika, gadis itu menyadari sesuatu. Tangannya langsung menggeser posisi gelas dan piringnya ke tengah meja. Ia tak mau jadi penyebab kejadian yang sama. Ia sadar, sifat teledor dan kurang hati-hatinya bisa muncul kapan saja.

*

Mohon diri pukul tujuh, jalanan di sekitar kedai gulita. Lampu kota di kawasan itu memang sengaja tak dinyalakan, tersebab masih berlakunya aturan pembatasan.

Separuh bergidik menyaksikan suasana kota yang tak biasa, gadis itu naik ke boncengan motor ojek, sesaat setelah mohon diri pada pasangan muda pemilik kedai itu.

Hari itu, di kedai mungil sudut kota. Tempat favorit yang kerap sendirian ia datangi.[]

Posting Komentar

0 Komentar