CERPEN : Orasi Kaki - Part 1




Malioboro pagi ini tak seramai tahun lalu saat aku kemari. Sejak virus dari negeri seberang itu mengabarkan kunjungannya ke negeri ini empat bulan lalu, tempat wisata di seluruh kota ditutup sementara.

Begitu pula dengan Daerah Istimewa ini. Semua destinasi dipaksa sepi. Tiada wisatawan mengunjungi. Pedagang cinderamata, pakaian, jajanan, dan pemilik warung angkringan di sepanjang Malioboro pun meliburkan diri.

*

Dari dalam becak yang ia tumpangi, senyum lebarnya terbit seketika. Tentu saja, sebab Malioboro sudah dibuka kembali. Kontras dengan cemas yang kami rasakan sejak awal perjalanan.

Ya, akhirnya hari ini kami benar-benar berada di Jogjakarta. Setelah menyusun rencana dan cukup lama berdiskusi, petang kemarin mereka berangkat ke sini. 

Salah satu penghuni rumah ini; Rara, tentunya jadi yang paling bahagia karena liburan singkat ini akan benar-benar terjadi.

*

"Kamu harus bisa, ya, Nan. Bekerjasamalah denganku." ucapku pelan saat di perjalanan.

Sebenarnya aku agak tak enak juga bilang begini pada sahabatku itu. Tapi ya, mau bagaimana lagi. Kami memang sudah terlalu lama tak bergerak. Kami berdua kaku. Dan aku yakin, kondisi Nan lebih lemah dariku.

Nan menghela napas sejenak. "Aku nggak yakin, Ri. Rara nggak pernah jalan jauh lagi sekarang. Aku khawatir akan banyak menyusahkanmu nanti. Apalagi, tempat bernama Malioboro itu, pasti jalanannya panjang dan padat."

Aku terdiam, membenarkan kata-kata Nan. Apakah Rara bisa bertahan jika harus terus berjalan? Bagaimana kalau nanti kami berdua tak kuat, dan...
Ah, aku mulai berpikir yang tidak-tidak.

*

"Lihat lampu-lampu jalan gini aja aku udah seneng banget!"

Aku terjaga saat mendengar seruan riang diikuti tawa itu. Mobil tengah melintasi jalan tol. Ah, Rara belum tidur rupanya. Kecemasanku sedikit reda melihat kegembiraan Rara.

Sejenak, kulirik Nan yang rupanya ikut terjaga. Dia tersenyum. "Aku akan berusaha sebaik-baiknya, Ri. Kita harus kuat, agar kebahagiaan Rara tak sia-sia."

Kubalas senyum Nan sembari mengiyakan ucapannya. Ya, kami harus kompak! Rara harus menikmati perjalanan ini!

*

Di pagi separuh siang itu, wajah Jogja cerah. Biru langit menghampari gulungan awan seputih kapas. Rara tampak duduk di kursi, serius mengikat tali sepatunya seerat mungkin. Ya, masih sepatu kelabu berhias tambalan itu yang ia kenakan.

Entahlah, ada apa dengan gadis satu ini. Dia memang tak terlalu peduli dengan dunia fashion. Di rumah, bajunya banyak sekali, tapi yang dipakai ya itu-itu saja. Celananya itu-itu saja. Juga kemeja dan kaos yang tetap berwarna hitam dan abu-abu. Padahal ada banyak warna lainnya.

Begitu pula dengan sepatu ini. Aku saja lupa, kapan tepatnya Rara membelinya. Yang pasti, sudah cukup lama. Beberapa bulan usai dibeli, sepatu ini jebol di bagian samping.

Rara seharusnya hafal, bahwa kondisi Nan-lah yang membuat sepatunya tak seawet yang diinginkan. Tapi, ia selalu memilih untuk memperbaikinya di tukang sol, daripada membeli yang baru. Tawaran membeli sepatu baru selalu ia tolak. Alasannya, yaa karena sepatu lamanya masih bisa dipakai.

Mendengarnya, aku jadi gregetan sendiri. Aduh, Rara! Ya memang sepatu itu masih bisa dipakai, tapi kamilah yang tersiksa! Huh!

*

Beberapa saat kemudian, Rara pun siap. Ia berdiri dan mencoba menyeimbangkan tubuh dengan cara membungkuk dan mengangkat tangan kanannya setinggi telinga sebentar. Rara melakukan itu agar bisa berdiri stabil dan tak jatuh.

Cara ini sudah kami pahami sejak lama, tapi justru sering diprotes orang-orang di sekitarnya.

Rara pun melangkah keluar. Menuju lift, dan turun ke lobi hotel tempatnya bermalam. Kinan, adiknya, berjalan pelan di sebelahnya.

"Kita naik becak aja yaa?" tawaran Kinan langsung diangguki Rara dengan penuh semangat. Aku dan Nan cekikikan. Kami sudah tahu benar, Rara memang suka melihat panorama kota. Apalagi setelah tak keluar rumah selama hampir empat bulan ini.

Tapi, kami deg-degan juga rasanya. Seperti yang kucuri dengar semalam, pagi ini mereka akan menuju Malioboro. Akankah kami siap? Apakah Rara sanggup bertahan?

*

Setibanya di depan pintu masuk hotel, aku dan Nan kompak berhenti saat melihat sejumlah undakan tangga di hadapan kami. Mereka semua seperti tersenyum mengejek kami. Mereka seakan berkata, 'kalian pasti takut melewati kami, kan?'

Aku kesal sekali. Ingin rasanya maju lebih dulu. Tapi, seperti biasa, Nan mencegahku.

"Hei, jangan, Ri! Aku belum siap. Aku nggak yakin bisa lewat tangga ini. Nanti Rara malah jatuh!"

Huft, lagi-lagi. Maka aku pun menurut saja saat Rara bergerak menuju sisi kanan, ke sebuah turunan yang cukup landai. Dan, kami berdua kaget saat menapakinya. Rara memang nekat! Ini licin sekali!

Maka kami pun coba mengatur gerakan. Kupandu Nan untuk mengikutiku, seperti irama satu-dua-satu-dua. Di luar dugaanku, Nan bisa memahaminya. Dengan dua tangan Rara yang berpegangan menyamping, kami bisa melewati turunan itu dengan baik.

*

Tapi, setelahnya, ada nyeri yang menjalar di sekujur tubuhku. Nan juga. Napas Rara pun terdengar agak terengah. Waduh, bagaimana ini? Baru segini saja, ternyata kami sudah hampir menyerah.

Tak lama kemudian, sebuah becak motor berhenti di hadapan Rara dan Kinan. Rara pun bersiap naik lebih dulu. Kedua tangannya berpegangan pada sisi kanan dan kiri becak itu.

Kami pun bersiap naik. Seperti biasa, aku yang akan naik lebih dulu. Sebab, kondisiku memang lebih kuat daripada Nan, dan aku yang bisa menopangnya. Tapi, tunggu! Kenapa punggung*ku malah tersangkut begini? Bagaimana ini?

Nan yang masih berpijak di tanah pun ikut panik. "Kamu kenapa, Ri? Ayo cepat naik! Kalau kamu begini, aku tidak kuat menahan tubuh Rara! Nanti dia bisa jatuh!"

Aku tak sanggup menjawab. Cemasku makin menjadi saat mendengar Rara mengaduh lirih.[]

Bersambung...

(*) Punggung kaki, atau kaki bagian atas.

loading...


Posting Komentar

0 Komentar