Bertemu Bandung (3.1)

"Bergerak diiringi nada, kala muda di Saparua
Lantas, reguk secangkir senja di Dago Pakar
Kerlip lampu di kejauhan tampak dari Caringin Tilu
Atau, mari berburu kabut di Lembang sana..."

-Fiersa Besari, Bandung






Ahad, 19 Januari 2020

Mata saya separuh terbuka. Sejenak bingung. Di mana ini? Oh ya, di Bandung. Menoleh ke samping, ada Almira yang masih terlelap dengan selimut kesayangannya.

Melongok jam di layar ponsel, rupanya sudah merapat di angka lima kurang limabelas. Pukul lima pagi di Bandung masih segelap pukul empat.

Udara di Bandung mengingatkan saya pada Kota Batu. Tapi Bandung masih lebih dingin. Dan saya suka cuaca seperti ini.

*

Beberapa menit kemudian, terdengar gedoran pelan dari luar. Wajah Mas Dito muncul dari balik pintu yang sedikit terbuka.

"Eh, Dik Din sudah bangun." ucapnya sambil nyengir. Saya mengiyakan.

Rupanya Mas Dito sudah terjaga sejak satu jam lalu. Sambil menggosok-gosok mata, saya menuju dapur. Mas Dito tampak sibuk di sana. Wah! Rupanya dia memasak sejak tadi, dan sudah hampir usai.
Saya langsung mengambil alih tumpukan perabotan kotor di bak cuci piring.




Sekitar satu jam kemudian, enam porsi nasi goreng terhidang di meja. Kami semua langsung menyantapnya. Rasanya enak. Tak kalah dengan racikan warung bakmie Iezan, tempat makan langganan kami di Blitar.

Mas Dito tak ikut makan, entah mengapa. Mungkin dia sudah menikmati masakannya itu lebih dulu.

*

"Yakin, nih, Dik Hil?" 

Mas Daffa sekali lagi bertanya pada Mas Hilmy yang duduk di sebelahnya. Mas Hilmy sejenak memandang ke depan. Kedua tangannya menggenggam setir.

"Yakin Mas Daf. Ayo! Bisa!"

Pedal gas pun diinjak, dan mobil kami bergerak naik melintasi tanjakan yang cukup tajam. Kontan saja, para penumpang di jok tengah berteriak cemas. Apalagi saya, yang duduk di bangku paling belakang bersama enam koper.

*

Kami memang sudah check out dari vila Pesona Bali View, dan tengah dalam perjalanan menuju destinasi selanjutnya. Sebenarnya kami ingin mengunjungi The Great Asia Afrika dan Farmhouse. Tapi rupanya dua tempat wisata yang sedang hits itu terlalu ramai. Ah, ya, ini hari Ahad. Sampai-sampai, kami tak kebagian tempat parkir. Akhirnya dibatalkan saja.

Percakapan dua kakak sepupu saya itu terjadi beberapa saat setelah perdebatan kecil kami. Semua penumpang jok tengah sempat akan turun dari mobil demi mengurangi muatan agar mobil kuat menanjak. Saya tak menyangka Mas Hilmy bisa senekat itu. Semoga tak terjadi apa-apa pada mobil sewaan ini

*

Beberapa menit kemudian, hawa terasa lebih dingin. Saya jadi agak menyesali kostum yang terpakai hari ini; sebuah celana kain dan kemeja lengan 3/4. Saya terbelalak saat mobil berbelok dan terparkir di pelataran berkerikil. Ada banyak mobil lain dan dua ekor kuda pula. Di mana ini?




Senyum saya melebar saat melihat papan nama tak jauh dari situ. Bertuliskan Selamat Datang, Wilujeng Sumping, Welcome To Gn. Tangkuban Parahu. Wow! Setelah selama ini hanya mendengar namanya dari media, buku, dan cerita orang, akhirnya hari ini saya menginjakkan kaki di sini.

Kami semua keluar dari mobil dan menuju papan nama itu untuk berfoto bersama. Kebetulan sedang sepi. Ada dua lelaki yang langsung menawarkan diri untuk memfotokan. Saya tak henti tersenyum menikmati panorama ini.




Setelah abadikan beberapa jepretan, saya memutuskan kembali ke mobil. Melihat undakan tangga menuju Kawah Tangkuban Parahu yang curam di belakang saya, rasanya kaki ini belum sanggup. Kedua kaki saya masih nyeri. Rupanya koyo yang saya tempel di kaki semalaman tadi tak sepenuhnya manjur.

Saya duduk di tempat semula. Kaca mobil bagian tengah pun sedikit dibuka. Mas Dito membekali saya sebuah handy talkie, untuk memudahkan berkomunikasi dengan yang lain. Sebab, begitu sampai di sana, sinyal ponsel langsung amblas.

*

Sejak kami tiba, para pedagang hilir mudik di sekitar kami. Menawarkan dagangan yang mereka bawa. Ada yang berjualan makanan ringan seperti cilok dan telur gulung. Ada pula yang menjual merchandise seperti gantungan kunci, tas rajut, juga topi bulu berbentuk kepala hewan.




Saat saya sendirian pun, ada sejumlah pedagang yang menghampiri. Saya beberapa kali mengucap "Nuhun, Pak, nuhun," sambil melambaikan tangan sebagai tanda tak ingin membeli dagangannya. Bukan tak mau, sebenarnya. Tapi saya tidak pandai menawar harga. Hehehe.

*

Sekitar tiga jam kemudian, para sepupu kembali ke mobil bersama aneka bawaan. Levina membawa dua mika berisi buah stroberi dan raspberi. Mbak Savira menenteng sebuah kresek berisi beberapa pouch rajut. Rupanya itu oleh-oleh untuk para ibu kami di Blitar. Almira membawa satu pak gantungan kunci dan sebotol minuman buat saya. Sedangkan para lelaki tak terlihat membawa apa-apa.




Meskipun saya tak ikut melihat Kawah Tangkuban Parahu secara langsung, tapi melihat hasil jepretan Mas Daffa saja tetap sama takjubnya.




Mereka langsung masuk ke mobil dan kami pun meneruskan perjalanan. Kami akan menuju tempat menginap baru yang akan ditinggali sementara hingga esok pagi.

*

Tak disangka, ternyata ada banyak keunikan yang dimiliki vila yang berlokasi di Lembang ini. Jujur saja, desain rumah seperti inilah yang tergambar di pikiran saya selama ini. Tak hanya itu, dua nama di balik vila ini pun mengejutkan saya.

Apa saja hal menarik dari vila bernama Casa Lembang ini? Semua akan terangkai dengan cerita perjalanan di Bandung pada bagian selanjutnya. Nantikan![]

30 Januari 2020
Adinda RD Kinasih



loading...






Posting Komentar

0 Komentar