Cinta yang Utuh: Seorang Cerebral Palsy Takkan Bisa Mandiri




Judul : Cinta yang Utuh
Penyusun : Yudhi Dzulfadli Baihaqi
Penerbit : DAR! Mizan
Tahun Terbit : 2007
Tebal Buku : 185 hlm

Sejak lama, saya meyakini bahwa hidup adalah sebuah pengembaraan, pencarian, sebuah "soul searching".
-dari Cinta yang Utuh, halaman 10

Buku ini sudah cukup lama ada di rak buku saya. Ayah yang memberikannya, sebagai hadiah ulangtahun ke-16, tahun 2008 lalu. Ya, buku ini sudah 11 tahun berada di sini.

Cinta yang Utuh berisi pengalaman manusia-manusia istimewa, dengan kondisi fisik beragam. Kondisi fisik yang menurut sebagian besar orang berbeda, yang lazim disebut cacat.

Ada banyak kondisi yang dikisahkan di sini. Ada seorang tunarungu, tunanetra, tunawicara, juga ada yang kakinya terserang polio hingga ia harus memakai kursi roda.

*

Tapi, ada satu kisah yang menyita perhatian saya. Bernama Faisal Rusdi, seorang pelukis penderita cerebral palsy.
Cerebral palsy
yang ia alami agak berbeda dengan saya. Selain harus memakai kursi roda, kedua tangannya pun tak bisa berfungsi optimal. Maka itu, ia melukis menggunakan mulutnya.

Sejak usia 6 tahun, Faisal Rusdi rutin menjalani terapi di Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC). Terapi yang harus ia jalani cukup berat. Salah satunya adalah ia diikat kencang di atas kasur mulai dari dada, pinggang, dan lutut. Kemudian kasur itu diberdirikan, sehingga seolah ia sedang berdiri tegak di atas kedua kaki.




Terapi itu berlangsung sekitar 30 menit. Setelah ikatannya dilepas, beliau merasakan sesak pada dadanya. Dampak itu ia rasakan hingga kini. Dadanya terasa sesak dan sering batuk-batuk kecil.

Kala itu, para terapis menasihatinya agar selalu rajin terapi agar bisa mandiri. Malah, lebih tepatnya para terapis itu mengancamnya harus sukses dalam terapi ini. Jika gagal, maka Faisal akan terus menjadi beban orang lain.

*

Faisal sempat tertekan dengan semua ucapan itu. Belum lagi sejumlah keluarganya yang juga mengatakan hal serupa. Dia sendiri merasa tak sependapat dengan mereka. Dia yakin, meski kondisi fisiknya seperti ini, ia akan bisa menghidupi dirinya sendiri nantinya.

Faisal juga kerap menerima perlakuan diskriminatif dari sekitarnya. Misalnya, saat sekolahnya diundang untuk mengikuti Jambore Nasional. Faisal menjadi satu-satunya siswa yang tak diikutkan. Padahal, ia bersekolah di Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Alasannya, karena ia tak bisa mengurus dirinya sendiri. Faisal tak terima dengan alasan tersebut. Baginya, yang ia alami ini hanya sebuah kondisi fisik, dan tak ada hubungannya dengan kesanggupan mengurus diri sendiri.

Menurutnya, kemandirian itu bergantung pada batas kemampuan seseorang, bukan dinilai dari kemampuan tubuh orang-orang, apakah ia menyandang cacat atau tidak. Jika kita dapat menerapkan mindset tersebut, maka kita akan lebih bisa menerima orang-orang yang kemampuan kemandiriannya berbeda, atau yang tak bisa mandiri sama sekali.

*



 Kini, Faisal Rusdi sudah menikah, dan masih aktif melukis, dan mengikuti beberapa pameran lukisan di Solo, Jakarta, hingga Papua. Ia bisa membuktikan bahwa dengan kondisi fisiknya ini, ia tetap bisa membiayai keluarganya lewat melukis. Walaupun ia masih tetap membutuhkan bantuan orang lain untuk kegiatan sehari-hari, namun kini ia pun bisa menggaji seorang asisten untuk membantunya. Bisa kunjungi Instagramnya di @ud_al.

26 Nopember 2019
Adinda RD Kinasih

Sumber foto:
Dok. Pribadi dan Instagram @ud_al




loading...


Posting Komentar

0 Komentar