Setiap Keberuntungan Punya Pemiliknya Masing-Masing

2 Juni 2018. Tanggal yang mungkin takkan pernah saya lupa seumur hidup saya.

Mengapa? Tak perlu saya tuliskan lagi di sini, sebab semua sudah saya abadikan pada sejumlah tulisan, juga cerita lisan yang diulang-ulang.

Namun, tanggal itu pulalah yang membuat batin saya campur-aduk. Gembira, bersyukur, tak menyangka, sekaligus menyesal dan merasa tinggi hati.

***

Ya, sesaat saya merasa telah menyombongkan diri. Pertemuan tak terduga dengan penulis itu memang istimewa; tapi mungkin opini itu hanya berlaku untuk saya dan segelintir orang saja.

Sisanya? Tak menutup kemungkinan, ada yang memendam iri, lalu bertumbuh jadi prasangka dan benci.

***

Belakangan saya sadar, pertemuan itu hanya sebagian kecil dari "keberuntungan" saja. Lalu apa manfaatnya mengulang-ulang cerita yang telah diunggah ke tiga situs berbeda?

Saya merasa bersalah. Memang tak ada salahnya membagi berita bahagia di segala macam sosial media.

Tapi saya lupa, jika tak semua orang ikut senang dengan berita bahagia yang kita bagikan. Mungkin ada yang malah memendam sedih tanpa kita tahu.

***

Saya terlahir prematur 26 tahun lalu. Itulah yang membuat kaki dan tangan kanan saya berbeda, ditambah cara berjalan yang akan selalu jadi pusat perhatian.

Saya menyesali salah satu sifat buruk yang mengakar dan masih susah hilang hingga kini. Ialah malas. Malas berlatih demi membuat kondisi kaki saya lebih baik.

Padahal hampir semua orang telah menyematkan nasihat yang sama; memotivasi dengan cara berbeda-beda. Tapi itu semua belum bisa mengubah saya.

***

Hingga akhirnya para motivator itu pun terdiam satu-satu, ada pula yang mundur teratur. Mungkin sudah terlampau lelah menghadapi kebebalan saya. Kadang, orangtua dan adik juga masih mengingatkan. Tapi kini, agaknya diri saya sendirilah yang lebih berperan.

Setiap kali berjalan atau naik-turun tangga, tak henti ia mengingatkan.

"Hati-hati. Awas. Lihat jalan. Kakinya diangkat, jangan diseret. Badannya tegak. Tangan di bawah. Jangan sampai jatuh."

***

Bagaimana hidup di tengah kondisi ini? Itulah yang sempat menimbulkan teka-teki bagi sebagian orang.

Sejumlah teman pernah bertanya, apakah saya bisa mengganti seprai sendiri? Apakah saya bisa menyapu? Bagaimana cara saya menggoreng lauk? Bagaimana saya bisa menulis dengan tangan kiri?

Semuanya saya jawab ringan saja. Ya, beruntung saya bisa melakukan semuanya, meski hasilnya tak sesempurna orang normal.

***

Meski tetap saja ada hal-hal yang bagi orang lain sepele, tapi tak bisa saya lakukan sendiri. Misalnya mengendarai sepeda dan motor, bahkan naik eskalator pun saya harus dibantu dua orang. Ketika naik-turun tangga diam, saya harus mencari pegangan. Hingga sekarang, keseimbangan saya memang masih payah.

Dahulu, sejak SD saya malah tak bisa mengikat tali sepatu sendiri. Kemudian saat SMA, ada teman yang berbaik hati mengajari saya menalikan sepatu.

***

Hingga pertanyaan, "Pernah menyesalkah kamu terlahir dalam kondisi seperti ini?" membuat saya merenung.

Jujur saja, pernah terlintas tanya kenapa saya terlahir seperti ini. Saya pernah iri pada mereka yang bisa berjalan santai tanpa berpikir akan jatuh atau tersandung. Melakukan apa pun tanpa hambatan. Bisa ke mana-mana sendiri. Tak perlu was-was akan jadi pusat perhatian.

Tapi lalu saya sadar. Ini garis takdir yang harus saya jalani.  Saya percaya Allaah menciptakan segalanya dalam dua sisi. Baik dan buruk.

***

Suatu ketika di 2014, mata saya menemukan kalimat ini dalam sebuah kiriman dari seorang sahabat saya.

"....Tapi setiap kali aku merasa lelah, aku selalu membayangkan sosok-mu. Sosok yang harus berjuang keras untuk menempuh jarak yang tak seberapa, sosok yang berjuang melawan “ketidak-samaan”, sosok yang selalu memendam pilu ditengah “kenormalan” yang ada. Ketika hati berkata 'aku menyerah', selalu terlintas sosokmu dan kemudian hati itu berkata lagi 'Dia saja tidak pernah menyerah'."

Hati saya gerimis. Ternyata masih ada orang yang berpikir seperti ini melihat kondisi saya. Mungkin inilah sisi baiknya. Saya pun ikut tersemangati dengan penggalan ini.

***

Saya pun sadar, betapa beruntungnya saya masih dikelilingi kedua orangtua, adik, dan banyak orang baik. Mereka yang sabar menghadapi kelambatan saya dalam banyak hal; bahkan untuk hal sesederhana memakai sandal, naik ke jok motor, atau masuk ke mobil sekali pun.

Betapa beruntungnya saya masih diberi kesempatan menimba ilmu dari mereka semua, lewat ragam dialog, film, dan buku yang kerap dibagikan.

Betapa beruntungnya saya dapat mengenal mereka, yang tak pernah menganggap saya berbeda. Secara tak langsung mereka mengajarkan arti kemandirian, tapi juga tak segan membantu jika saya membutuhkan.

***

Setiap keberuntungan punya pemiliknya masing-masing. Itu yang kemudian saya percayai. Setiap orang memiliki jalan hidup masing-masing. Anugerah, cobaan, dan perjuangannya pun berbeda-beda.

Ada sebagian teman yang telah kehilangan ayah atau ibunya, tapi mereka masih punya sahabat yang sedia menemani ke mana saja.
Ada pula sebagian mereka yang telah menikah dan membina keluarga.
Ada yang masih bergelut dengan pekerjaannya.
Ada juga yang hingga kini masih berkutat dengan kuliahnya, seperti saya.

***

Bagaimana pun kondisinya, tak ada alasan untuk tak berterimakasih atas hadiah Tuhan yang besar.

Ialah hidup; beserta segala lika-liku dan keajaibannya yang tak henti membuat kita belajar.[]

20 Juni 2018
Adinda RD Kinasih

Catatan ini dapat dibaca pula di : https://www.plukme.com/post/1529508865-sesungguhnya-setiap-kita-beruntung.

Posting Komentar

4 Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Proud of you Dinda. Terus semangat dan terus berkarya ya Din

    BalasHapus
  3. Terimakasih Lulu. Kamu juga semangat terus ya

    BalasHapus
  4. Semangka (semangat karena Allah) mba dinda.

    BalasHapus