Philokoffie dan Segala Gurat Kenangan di Sudutnya

"Ini akhir cerita
Kita harus berpisah
Semua masih teringat

Mencari semua
Makna yang hilang
Semenjak kau pergi
Tinggalkanku di sini..."

-The Overtunes, Let You Go

Sejak semalam, lagu ini terngiang di telinga. Menambah sesak yang saya rasakan sejak menemukan wajah Rumah Kedua yang berbeda.

Mungkin bagi sebagian orang, perginya Mbak Na dari sana menjadi hal biasa. Sementara saya, entah kenapa bisa sesedih ini. Entah mengapa bisa begitu menyukai tempat ini. Padahal sudah banyak warung kopi sejenis di kota ini, tapi Philokoffie seperti jadi tempat paling satu.

***

Seperti yang pernah saya ulas di catatan sebelumnya, Philokoffie pertama kali dikenalkan oleh Alfa Anisa. Saya bertandang ke sana November tahun lalu bersama sejumlah teman dari FLP Blitar.

Saat itu, di sana saya berkenalan dengan Harry Potter, hingga kini mengoleksi seluruh serinya. Saat itu pula saya baru tahu bahwa moccachino itu pahit. Saat itu saya bertemu Mbak Na dengan kesederhanaan dan sapa ramah, serta bincang seputar kopi dan buku yang tak ada habisnya.

***

Sejak saat itu, Ahad sore dan Philokoffie seperti tak bisa dipisahkan. Saya sangat sering mengunjungi tempat ini, untuk pinjam buku, mencari WiFi untuk memposting tulisan ke Blog, atau sekadar ngobrol sambil mencicipi seduhan beragam kopi asli Indonesia.

Favorit saya adalah Gayo tubruk. Meski begitu, saya juga gemar minum cokelat hangat dan caffeinated ice choco, espresso yang dipadukan dengan bubuk cokelat dan es batu. Sementara, kudapan kesukaan saya adalah pisang goreng dan sausage rolled toast, roti gulung sosis yang dipanggang.

***

Suasana Philokoffie unik bagi saya, karena tak seriuh kafe-kafe lain, juga bunyi sirene dan deru kereta yang terdengar setiap satu jam sekali. Meskipun desain interiornya sederhana, saya tak bosan berfoto di setiap sudutnya.

Bisa dikatakan, buku-buku yang ada di sana pun merupakan karya-karya "pilihan" yang sebagian besar belum pernah saya baca sebelumnya. Itu ciri paling khas dari tempat ini.

Mbak Na pernah berkata, sebagian buku itu adalah  miliknya, juga milik Pustaka Pijar. Sebuah perpustakaan jalanan yang ia kembangkan bersama Kelana Wisnu, mahasiswa Universitas Padjajaran Bandung.

***

Karena seringnya datang ke sana, saya jadi merasa seperti di rumah sendiri. Meminjam ruang shalat, meminjam buku tanpa batas waktu tertentu, hingga mengganti playlist lagu sesuka hati pun bisa dilakukan.

Saya sampai mendapat julukan Anak Kafe dari Ayah saya. Juga, beberapa kali ditegur karena pulang kemalaman. Saya pernah keasyikan ngobrol di Philokoffie hingga jam 11 malam, hehehe. Kalau ini memang salah, dan tak patut ditiru, ya.

***

Saya pun pernah diantar Mbak Na pulang. Mbak Na memang bertempat tinggal di kawasan Ponggok, searah dengan rumah saya. Kami sempat melewati Kedai Loka milik seorang teman Mbak Na di Jalan Manggar. Buku-buku Mbak Na sebagian memang disimpan di sana.

Oh ya, saya juga pernah shalat Maghrib bareng Mbak Na di masjid Kandepag. Saat itu hanya kami berdua yang ada di Philokoffie, dan sedang tak ada mukena di sana. Jadilah, kami berjalan kaki ke masjid. Di perjalanan, saya sempat bercerita juga tentang sejarah lahir saya.

***

Saya pun pernah ikut nonton bareng di Philokoffie. Hari Kamis selepas senja saat itu, saya dan seorang teman dari FLP nonton film The Book Thief. Tentunya dikawani camilan dan kopi gratis racikan Mas Kharis.

Momen Ramadhan tahun ini pun, tak lupa saya lewatkan di sana. Kami akan membeli makanan dari luar dan dibawa ke Philokoffie untuk dinikmati bersama pada saat berbuka. Kadang, Mbak Na juga ikut memesan apa yang kami beli.

***

Tapi, 10 Desember kemarin mengubah semuanya. Bayangan saya, setibanya di Philokoffie, Mbak Na ada di balik meja kopi seperti biasa. Dan saya akan menunjukkan puisi sederhana yang saya buat untuknya.

Tapi kenyataannya berbeda dan cukup menyedihkan saya. Hanya tinggal Mas Kharis yang ada di sana tanpa dua sahabatnya. Mas Bimo kuliah di Jogja, sedang Mbak Na kini sudah menjalani pilihannya sendiri.

Saya harap, Mas Kharis tetap semangat mempertahankan Philokoffie, meski kini sudah kehilangan konseptor dan ciri khasnya.

***

Sejak 10 Desember kemarin, saya kehilangan Rumah Kedua saya. Mungkin sejak saat ini, saya tak lagi mengunjungi Philokoffie sesering dulu.

Juga, bagi yang sering mengkhawatirkan saya pulang kemalaman setiap Ahad, saya menjamin takkan pulang terlambat lagi. Karena Ahad sore saya kembali seperti semula. Yang berjalan sangat biasa.

Tapi, segala kenangan yang tergurat di sudut-sudut Philokoffie takkan mudah dilupa begitu saja.[]

11 Desember 2017
Adinda RD Kinasih

Posting Komentar

0 Komentar