One Little Thing Called Hope : Saat Kenyataan dan Harapan Tak Selalu Sejalan

Identitas Buku
Judul                : One Little Thing Called Hope
Penulis             : Winna Efendi
Tebal Buku      : 420 halaman
Penerbit          : GagasMedia
Tahun Terbit   : 2016

Winna Efendi. Saya mengenal penulis ini secara tak sengaja, tepatnya di akhir tahun 2012. Semuanya berkat Afgan, solois yang saya gemari karya-karyanya sejak 2009. Saat itu sedang santer diberitakan, bahwa Afgan akan menjadi salah satu pemeran dalam film layar lebar yang diadaptasi dari novel karya Winna yang berjudul Refrain. Entah mengapa, mendengar kata itu saya langsung tertarik, sekaligus penasaran. Dan akhirnya saya bisa mendapatkan novel Refrain beberapa waktu kemudian.

Sejak saat itu, saya selalu memburu novel terbaru Winna. Sedari awal, saya suka gaya berceritanya—mengalir, dengan gaya bahasa yang sederhana. Tema novelnya adalah kehidupan keluarga dan percintaan yang dialami para remaja, tapi lebih kompleks dari teenlit-teenlit lain yang banyak beredar. Winna bisa melihat sisi-sisi lain dari tema tersebut, dan dengan gaya berceritanya, selalu bisa membawa para pembaca merasakan tiap adegan di dalamnya; tertawa, menangis, sakit, marah, kadang juga gregetan.

#

Baru-baru ini, saya mengunjungi toko buku, setelah vakum mendatanginya selama beberapa bulan belakangan. Diam-diam saya merindukan ini: melangkah memutari rak, membaca judul demi judul, sesekali membalik bagian belakang buku untuk membaca sekelumit sinopsis yang tertera di sana, juga tak lupa melongok label harga.

Dan di sinilah saya menemukan karya terbaru Winna, bertajuk One Little Thing Called Hope. Tanpa pikir panjang, segera saya ambil buku itu. Sampulnya didominasi warna putih, dengan gambar kaus kaki rajut mungil berwarna biru di bagian atas. Kata “Hope” tertulis besar-besar, setiap hurufnya dibuat dengan rajutan benang merah tua, hijau, dan ungu.

#

One Little Thing Called Hope diawali dengan kisah gadis bernama Aeryn yang harus menerima kenyataan bahwa ibunya telah meninggal, dan ada dua anggota baru di rumahnya, yakni ibu tiri dan saudari tirinya. Aeryn pun harus rela melihat hampir seluruh bagian rumahnya berubah, kebiasaan, masakan, juga ruang kerja ibunya yang disulap jadi kamar untuk saudari tirinya. Keadaan ini memaksa Aeryn menutup diri dari keluarganya dan menikmati dunianya sendiri.

Sementara, Florence, yang biasa disapa Flo, juga harus menerima kenyataan bahwa kini ia punya keluarga baru, punya kakak perempuan—yang telah lama diimpikannya karena ia anak tunggal, meski nyatanya orang yang dianggapnya kakak itu tidak menyukainya. Flo pun harus menerima bahwa ia harus pindah sekolah dan berpisah dengan dua sahabatnya, Genta dan Theo. Meski kemudian di sekolah barunya ia sama-sekali tak punya teman. Namun, Flo mampu menjalani semuanya dengan ceria, tetap bersikap baik pada kakak tirinya, dan tetap menjalani kebiasaan uniknya, membuat kue dan melahap semua jenis kudapan manis tiap kali ia sedang gembira atau sedih.

Namun, keceriaan Flo tak berlangsung lama. Semua karena kenyataan pahit yang terpaksa ia terima. Flo berbadan dua, di usianya yang baru 16 tahun. Semua itu tersebab bujuk rayu Genta, sahabat yang kemudian dipacarinya. Selama beberapa waktu, Flo merahasiakannya dari seluruh anggota keluarga. Hingga akhirnya ia bercerita pada Theo dan Aeryn—lambat-laun pada ayah dan ibunya juga. Meski awalnya mereka semua terkejut, marah, dan sedih, tapi tak ada pilihan selain tetap menguatkan Flo di tengah segala masalah yang dihadapinya. Sikap Aeryn pada Flo pun berangsur berubah sejak itu. Ia mulai bisa membuka diri, dan mencoba mengakrabi saudari dan ibu tirinya.

Flo juga memberitahu Genta tentang keadaan itu, dengan harapan Genta mengerti dan mau bertanggungjawab. Namun ternyata Genta tak bisa menerima keadaan Flo, dan malah menyarankan untuk menggugurkan kandungannya. Ingin meraih pendidikan tinggi adalah alibi Genta untuk lari dari kesalahannya. Mendengar itu, Flo sangat terpukul. Ia merasa semua ini tidak adil, karena dia sendiri pun juga terpaksa menerima hujatan banyak orang dan dikeluarkan dari sekolah karena kehamilannya itu.

Dilema menyergap benak Flo saat itu, apakah ia harus menggugurkan kandungan, atau mempertahankannya. Di sisi lain, ada getaran rasa yang mulai tercipta antara Theo dan Aeryn, karena seringnya intensitas pertemuan diantara mereka.

#

Dibandingkan novel-novel Winna sebelumnya, One Little Thing Called Hope adalah novel yang mengambil tema cukup kontroversial. Dan istimewanya, seperti yang sudah saya tuliskan di atas, gaya bercerita Winna-lah yang membuat novel ini tetap enak dibaca. Ada beragam rasa yang campur aduk sepanjang saya membaca novel ini.

Semoga saja One Little Thing Called Hope juga akan diangkat ke layar lebar, seperti tiga novel sebelumnya, yakni Refrain, Remember When, dan Melbourne Rewind.[]

18 Pebruari 2017
Adinda RD Kinasih

Posting Komentar

0 Komentar