Sumber foto: dok. pribadi |
Kukirimkan terimakasih
Untuk warna dalam hidupku
Dan banyak kenangan indah
Kau melukis aku…
♯
Sebenarnya kantuk dan lelah sedang kompak menyerang sekujur tubuhku malam ini. Tapi setelah iseng membuka laptop dan mendengar lagu itu, terekam jelas lagi segala yang terjadi sepanjang siang ini. Dan kuputuskan untuk menuliskannya malam ini juga.
Hanya sebuah siang yang singkat, sebenarnya. Bahkan mungkin lebih singkat dari biasanya. Tapi tetap, mau lama atau sebentar, setiap momen yang kualami bersama kalian selalu membekaskan jejak. Meninggalkan kenangan.
Sebuah hari yang kunamai The Big Day hadir lagi. Kali ini ia hadir tepat saat penanggalan jatuh di angka tujuh. Kali ini, hari besar itu dibawa oleh sebuah undangan resepsi, dari satu lagi Sahabat Merah Putih yang telah melepas masa lajangnya pada 28 Juli lalu.
Jam sebelas siang, terdengar bel dari luar. Buru-buru aku melangkah menuju pintu. Mendapati Pipit yang tengah berdiri di sana sambil tersenyum, adalah sumber kelegaanku. Kesabaranku menunggu selama hampir satu setengah jam berakhir sudah.
Melangkah keluar, kulihat Ade, Fian, dan Rendik, yang berdiri bersama seorang lelaki di halaman rumah. Mereka tampak menunggu sesuatu. Rupanya ada dua pick up yang menghalangi jalan, sehingga membuat minibus silver Ade tak bisa keluar. Kuhampiri lelaki itu, yang ternyata adalah Angga Lucky, suami Helin, yang juga temanku saat di MAN dulu, hanya berbeda jurusan. Fian dan Rendik juga menyalamiku.
Setelah kedua pick up itu dipinggirkan, aku segera masuk mobil dan menempati jok tengah bersama Helin, Angga, dan Kayla, putri kecil mereka. Ade duduk di balik kemudi, dengan Pipit di sampingnya. Sementara Fian dan Rendik duduk di jok belakang.
Sepanjang jalan, aku tak banyak bicara. Hanya menanyakan kabar dan kegiatan Helin sehari-hari, juga mengajak Kayla bercanda. Tapi balita cantik berambut keriting itu tak terlalu menanggapiku. Ya, mungkin karena ia belum kenal denganku.
Sesekali aku juga tertawa saat mendengar gurauan yang terlontar bersahutan dari Rendik, Fian, Pipit, dan Ade.
Akhirnya sampai juga kami di lokasi resepsi, di gedung Graha Patria. Setelah masuk dan mengisi buku tamu, kami bertujuh—ditambah Kayla tentu saja, menyusuri karpet hijau berhiaskan tempelan menyerupai bunga berwarna merah muda, sambil menyalami beberapa pasang penerima tamu berpakaian senada.
Inginnya kami langsung melanjutkan langkah menuju pelaminan tempat kedua mempelai untuk menyalami mereka. Tapi, mendadak Gilang mengabari Pipit bahwa ia sudah berada di depan pintu masuk. Jadilah, kami memutuskan berdiri sejenak di jalan setapak hijau itu, menunggunya.
Kami kompak menyungging senyuman, saat melihat Gilang mendekat. Lelaki berpostur tinggi itu tampak rapi dengan setelan celana hitam dan kemeja batiknya. Segera setelah itu, kami menuju pelaminan. Pipit menggandengku saat menaiki tiga undakan tangga. Kemudian, kudapati senyum bahagia milik kedua orangtua Edo, yang kubalas dengan jabat tangan dan senyum yang sama. Lalu, ada Edo dan Citra, istrinya, yang buru-buru berdiri saat melihat kami. Setelah saling berjabat tangan dan mengucap selamat, kami menyempatkan diri mengabadikan senyum dan gaya dalam beberapa jepretan kamera.
Kemudian, mari mengisi perut! Pipit mengajakku duduk di salah satu kursi, sementara dia mengambilkan makanan untukku. Ah, terimakasih ya, Pit. Maafkan karena sudah merepotkanmu.
Duduk menunggu mulai membuatku jenuh. Hingar bingar lagu dangdut yang berasal dari home band di sudut ruangan terasa memenuhi telinga. Tiba-tiba, mataku tertuju agak lama pada gerombolan wanita berjilbab yang sedang asyik bercanda sembari berfoto selfie. Rupanya mereka adalah teman-teman saat di MAN dulu. Ada Lusy yang kemudian menghampiri dan menyalamiku.
Sejenak kemudian, seorang wanita paruh baya berkebaya merah muda berjalan ke arahku. Mataku berbinar seketika. Jenuh yang sempat menghinggapi benak langsung hilang. Aku tak percaya ini, tapi benar. Beliau Bu Susiati, guru IPS-ku saat SD dulu! Wah, kejutan besar! Aku sama sekali tak menyangka bisa bertemu beliau di sini.
Salam sapa terdengar, seiring cerita demi cerita yang saling ditukar. Ternyata Bu Susi sudah tidak mengajar di SDI lagi. Beliau kini mengajar di SDN Kepanjenlor 2. Bu Susi juga yang memberitahuku, bahwa ada beberapa guru lama yang masih mengajar di SDI. Diantaranya, Bu Uvik, Bu Siti Khalimah, dan Bu Mukhayanah. Mendengar sekelumit cerita tentang sekolah, membuatku rindu akan masa-masa itu. Bu Susi juga bertanya seputar keseharianku, yang kujawab apa adanya.
Pandangan Bu Susi terarah pada home band, yang tengah memainkan sebuah lagu dari Naff. Dan tawaku langsung menguar saat mendengar pertanyaan beliau, “Masih nyanyi, nggak, Din?”
Kujawab, sudah tidak lagi. Ah, andai saja Bu Susi tahu tentang penampilan dadakanku menyanyikan lagu Sempurna secara pas-pasan beberapa waktu lalu, hahaha…
Obrolan kami terhenti oleh kedatangan Pipit dengan dua piring di tangannya. Rupanya ada nasi berlauk ayam goreng dan sop, juga es buah, untukku. Aku sempat kerepotan memegang dua piring sekaligus. Bu Susi langsung mengambil piring es buah dariku. Aku sempat menolak karena merasa tak enak pada beliau, tapi beliau malah menyuruhku makan. Kulahap sajian itu dengan setengah terburu, tak ingin merepotkan Bu Susi terlalu lama. Di sela-sela makan, tiba-tiba Bu Susi menyuapkan sesendok es buah padaku. Aku kaget, dan semakin merasa tak enak saja.
Tapi Bu Susi malah tertawa seraya berkelakar, “Udah, nggak papa. Kapan lagi bisa nyuapin kamu, Din?”
Aku tertawa pelan. Segera kuselesaikan makanku, dan kuletakkan piring di bawah kursi.
Kemudian, Ade, Fian, Rendik, Gilang, dan Pipit menghampiri kami. Disusul Helin bersama Kayla dalam gendongannya. Kami segera mengatur posisi masing-masing. Aku duduk di sebelah Bu Susi, sementara enam yang lain berdiri di belakang kami. Setelah semua siap dengan gaya dan senyum terbaiknya, Angga segera mengabadikan momen itu lewat kamera ponselku dalam beberapa jepretan.
Seusainya, Bu Susi pamit pulang. Kami masih tetap di tempat, asyik mengobrol. Ada pula yang masih mencicipi hidangan. Tak lama kemudian, kami memutuskan pulang. Hawa di dalam makin panas, dan Kayla juga sudah mulai rewel.
Berbeda dengan yang sudah-sudah, kali ini kami tak lagi menuju tempat lain. Biasanya, kami akan pergi ke rumah salah satu sahabat, atau makan bersama di suatu tempat. Kali ini di mobil Ade hanya tinggal Rendik, Helin, Angga, Kayla, dan aku. Sedangkan Pipit dan Fian ada di mobil Gilang.
Ade melajukan mobil perlahan menuju rumahku. Sepanjang jalan, ada sesak yang memenuhi dadaku. Bukan sedih, tapi haru. Syukur, gembira, dan lega bercampur jadi satu. Terimakasih Sahabat. Ini seperti melunasi kecewaku atas libur Lebaran kemarin yang sepi tanpa kalian. Ini juga telah melunasi rinduku yang sudah ingin bertemu kalian sejak lama.
Dan akhirnya, minibus silver itu berhenti di depan rumahku. Kami saling bersalaman dan bertukar ucap terimakasih dan perpisahan. Tapi semoga saja ini sementara. Semoga kita bisa dipertemukan lagi di lain waktu.
Sekali lagi, terimakasih Ade, Pipit, Rendik, Fian, Helin, Angga, juga Gilang, untuk telah mewarnai perjalanan singkat yang selalu menggembirakan ini. Kayla, semoga cepat besar dan tambah pintar, ya, Sayang.
Tak lupa, untuk Edo dan Citra, selamat menempuh hidup baru. Semoga bahagia selalu. Terimakasih untuk telah mengundang kami, karena di pesta resepsi inilah kutemukan bonus reuni, yang meskipun singkat, namun selalu berarti.
Sampai jumpa lagi, Sahabat!
Sumber foto: dok. pribadi |
Lembar monokrom hitam putih
Aku coba ingat warna demi warna di hidupku
Tak akan ku mengenal cinta
Bila bukan karena hati baikmu…
—Tulus, Monokrom
7 Agustus 2016
Adinda RD Kinasih
0 Komentar