Andai di Blitar Ada Ojek Online

sumber gambar: aselimalang.com
Ojek online mulai muncul di Indonesia pada tahun 2010, yang diawali dengan Go-Jek. Layanan ojek yang dapat diakses lewat aplikasi pada ponsel ini digagas oleh Nadiem Makarim, seorang pemuda lulusan Universitas Harvard, Amerika Serikat. Meski kemunculan Go-Jek sempat menjadi kontroversi, karena adanya beberapa tukang ojek pangkalan yang tidak setuju dengan adanya layanan ojek online ini, namun lambat-laun layanan transportasi berbasis online lainnya ikut bermunculan. Seperti Grabbike, asal Malaysia yang merupakan pengembangan dari Grabtaxi, lalu Uber asal Amerika, diikuti Bajaj App yang lahir berkat inisiasi Organda DKI Jakarta. Kini ada pula Transjek, Wheel Line, Bangjek, Ojek Syar’i, dan Bluejek.

Dengan adanya sarana transportasi online seperti ini, selain bisa mempermudah mobilitas masyarakat, juga mengurangi kemacetan, terutama di kota-kota besar. Di samping itu, tak hanya bisa mengangkut orang, ojek online bisa juga digunakan sebagai pengantar barang. Tarif yang dikenakan pun juga lebih pasti, karena ditentukan lewat aplikasi.


Hingga saat ini, saya masih selalu diantar-jemput jika ingin pergi kemana-mana. Jika sebelumnya ayah atau ibu yang mengantar, sekarang saya lebih sering diantar-jemput oleh adik saya yang duduk di kelas dua SMA. Dia belajar naik motor saat duduk di bangku kelas lima SD, pada saat usianya sembilan tahun. Dan kini ia semakin lihai naik motor.

Namun, meski begitu, bisa dikatakan saya cukup jarang keluar rumah. Mungkin seminggu sekali, setiap Ahad, untuk rutinan FLP di Perpustakaan Bung Karno. Atau mungkin di hari lain, saat ada acara yang mengharuskan saya keluar, tapi itu pun sangat jarang terjadi. Selebihnya, jika ada hal kecil yang perlu saya lakukan, atau ada barang yang perlu dibeli, saya akan menitip pada ibu, ayah, atau adik saya.

Tapi semakin lama, saya jadi merasa tidak enak juga dengan orangtua dan adik saya. Saya merasa merepotkan mereka, terlebih jika ayah dan ibu jam mengajarnya penuh, dan sudah kepayahan saat tiba di rumah. Begitu pula adik yang sering pulang sore karena ada kegiatan ekskul di sekolahnya. Seringkali hal yang saya butuhkan tadi jadi tertunda dilakukan, misalnya membayar SPP dan fotokopi berkas.

Jika dulu angkutan kota di Blitar masih sangat mudah ditemui, kini berbeda. Begitu pula becak. Setahu saya, pangkalan becak hanya ada di sekitar Makam Bung Karno, itupun ongkosnya mahal, karena diperuntukkan bagi para wisatawan. Untuk mencari tukang ojek pangkalan di sekitar rumah saya juga sulit.

Saya jadi berpikir, andai saja di Blitar ada layanan ojek online sejenis Go-jek, pasti semua akan menjadi mudah. Saya akan bisa pergi kemana pun, tanpa harus mengganggu jam kerja dan sekolah keluarga saya.

Seperti di Malang, selain Go-Jek yang telah ada di berbagai kota besar di Indonesia, juga sudah menyediakan beberapa layanan ojek online “lokal”, seperti Ojek Baper, Go Go Jack, Master Jek, Oyi Jek, dan Ojek Sista. Bahkan kini sudah ada layanan ojek terbaru, yaitu OKLAT (Ojek Kilat) dan M-Jek (Malang Jek). Tarifnya beragam. Ada yang mematok seribu limaratus hingga tiga ribu rupiah per kilometer, ada pula yang memasang harga sepuluh hingga duapuluh lima ribu per kilometer. Cara pemesanannya pun lebih simple, ada yang lewat nomor telepon, Line, hingga BBM.

Tapi sepertinya layanan ojek online ini memang belum bisa diterapkan di Blitar, karena hampir semua masyarakat Blitar punya kendaraan pribadi. Universitas yang ada di Blitar pun tak sebanyak di Malang, jadi bisa dikatakan pangsa pasarnya kecil.

Tapi, kalau saja ada layanan ojek online di Blitar, saya pasti menjadi salah satu pelanggan setianya. (*)

27 Juli 2016

Adinda RD Kinasih
 

Posting Komentar

1 Komentar