Dia Telah Pulang



Ini ujung petang yang hawanya menusuki tulang. Ini sepucuk malam yang menyedihkan. Entah apa tanggapanmu, tapi sekarang wajahku sedang ingin muram.
Ya, rasanya aku ingin menangis mulai detik ini, Bersama Yiruma yang masih setia membunyikan tuts-tuts pianonya di telingaku. Instrumennya seolah ingin mengiringi luncuran deras airmata, ingin turut merasakan sesak dada yang tak kunjung reda. Juga ingin menemaniku membuka kembali tiap lembar kenangan lawas itu.

Aku sendiri tak mengerti, tak bisa menerka, mengapa serangkum lara ini tiba tanpa rencana. Ia datang tetiba, seiring dengan separagraf cerita duka yang mengetuki ponselku, siang itu. Ada kejut yang menyengat jantung, ada mata yang siap meluruhkan hujan.

Benarkah ia sudah pulang? Hari ini? Mengapa harus secepat ini?

Segera kuseret langkah menuju rak, meneliti satu-satu buku yang tertata di situ. Dan akhirnya kutemukan. Sebentuk sedang majalah sekolah bersampul hijau. Lekas kubuka tiap halamannya yang buram. Menatap tiap judul di sana sekilas-kilas.

Hingga kemudian, gerakan tanganku terhenti pada selembar hitam putih bertuliskan namanya, serta sekelumit kisah yang tertulis di bawahnya. Wajah tuanya tergambar di sisi kanan halaman. Sepersekian detik, kupandangi wajah sederhana itu dalam diam. Mendadak, sesak seperti telah siap membunuh, bersama airmata yang mendesak luruh.
 #
Kenangan tentangnya memang sudah sangat usang, bahkan hampir hilang termakan jaman. Tapi, sosok bersahaja itu tak mungkin bisa dihapus begitu saja dari ingatan.

Dua tahun kami dipertemukan dalam sebuah jurusan langka bernama Bahasa. Seingatku, ia hadir di kelas berpenghuni tigapuluh delapan kepala itu tiap dua kali seminggu. Seragamnya tak selalu serupa, namun ada satu yang selalu sama tiap kami berjumpa. Ya, peci hitam yang selalu melekat di kepala, menutupi rambut putihnya.

Tak seperti guru kebanyakan, yang selalu menjinjing tas atau membawa setumpuk buku, tiap masuk ke Bahasa, tangan kanannya hanya mengapit sebuah buku paket kecil yang tak terlalu tebal. Ya, itu mata pelajaran Bahasa Arab, pada jurusan Bahasa Asing di kelas kami.

Materi-materi dalam buku paket itu bisa dikatakan cukup sederhana dan mudah. Namun awalnya, ada kesulitan bagiku untuk membaca dan memahami isi buku itu, karena tak adanya “harakat” (tanda baca) di setiap katanya. Dan ia, dengan segala kesabarannya, selalu bersedia menjelaskan setiap kata yang tak kumengerti, meski sudah kutanyakan berulangkali.

Begitu juga saat tes hafalan diadakan. Banyak diantara kami yang melontarkan keluhan, yang justru ditanggapinya dengan tawa. Tak jarang, kami riuh meracau sendiri di tengah suaranya yang bersemangat menjelaskan materi. Namun, ia masih tetap sabar menghadapi laku kami yang kadang mengiris hati. Meski amarah sangat jarang singgah padanya, ada ketegasan dan kekuatan prinsip yang terpancar di wajah keriputnya.
 #
Lalu, waktu membuat kami mau tak mau harus saling mengucap kata pisah, saat di tangan telah tergenggam ijazah. Saat tubuh mulai menanggalkan setelan putih abu. Itu…lima tahun lalu. Ya, mungkin memang cukup lama, namun segala kenang tentangnya tak mudah terlupa.

Aku sendiri sudah tak pernah lagi bersua dengannya, sejak kutinggalkan bangku SMA. Namun, kadang ada satu dua orang kawan yang mengirim sekelumit kabar tentangnya, ketika mereka mengunjunginya di hari raya.
Dan sepercik lega memenuhi dada, ketika tahu bahwa ia sehat dan masih tetap tertawa.
 #
Sudah. Kuputuskan berhenti berkisah. Aku tak bisa lagi menahan sedih yang membuncah. Hingga detik kesekian, aku masih belum sanggup percaya akan kepulangannya. Ya, aku tahu, tiap manusia pasti pulang, tak peduli ia masih belia atau telah menua. Tapi hari ini, kenapa harus dia? Benarkah dia sudah pulang?

Ya, benar. Di angka enampuluh tiganya ini, dia telah pulang. Kembali pada Sang Segala Maha. Bahagia dalam pelukan-Nya. Aku tahu, tak baik jika terlalu larut dalam duka. Maka kini, ijinkanku meminta.
Tuhan, ampunkanlah segala dosanya. Ijinkannya mengambil tempat termulia di sisi-Mu. Aku di sini hanya sanggup mengucap barisan doa, juga merangkum segala kenang yang tersisa…

Pisah ini memang timbulkan perih luka. Namun perlahan, kan kuobati perih ini. Meski sulit, tapi aku yakin mampu. Kan kubasuh luka ini dengan doa…
#

*Sebuah torehan sederhana bagi guru SMA, Pak Mujito. Terimakasih, Pak. Terimakasih “Mbah Kung” kami semua. Nasihatmu kan selalu teringat. Canda tawamu kan selalu tersimpan. Jasamu kan selalu terkenang… Selamanya.
Maafkan kami, sebagai anak didikmu yang tak sempurna…
Selamat jalan… Semoga engkau bahagia bersama-Nya…
Blitar, 23 Februari 2015
Adinda R.D Kinasih









Posting Komentar

0 Komentar