Membuka Kembali Enam Tahun Merah Putih (2)

"Friendship is not only for one or two days, but forever. And a true friend will understand whatever we did with whatever reasons..."
-A friend-

 Mendung saja seharian ini. Bosan. Ya, aku mulai membosani hujan yang terus-menerus datang tanpa pesan. Datang saja, tumpah tiba-tiba. Sejak Kamis malam, selalu begitu.

Namun, di hujan kali ini, siang ini, seperti bawa sebuah pesan yang menceriakan. Aku seperti dikembalikan lagi pada masa kanak-kanakku. Enam tahun merah putih....

Ya, mereka kembali. Bawa aneka hidangan lezat. Sepiring sapa ramah, sekotak tawa renyah, juga segelas jabat hangat. Ah... tahu saja mereka jika aku sedang lapar keramaian.

Dalam lantunan gerimis yang masih enggan berhenti, cakap akrab terdengar lagi. Serasa kunjungan Lebaran empat bulan kemarin. Kumiliki sepasang tatap kaget keheranan buat kawan lawasku, si lincah manis yang kini makin cantik dan semampai. Ada pula tatap rindu berbalut kagum untuknya, teman lama, yang hanya mereguk dua tahun cerita merah putih bersamaku. Namun, meski begitu, aliran kenang yang ada seperti meluap. Berlimpah.
Banyak kisah yang tertuang lagi dengan dua dara jelita itu, bersama lima arjuna yang kini juga sudah banyak berubah. Empat diantara mereka adalah yang mengunjungi rumahku pada Lebaran Agustus lalu. Yang satu lagi, kini berkacamata dan jadi lebih pendiam, padahal dulu ia cukup bandel di masa enam tahun merah putih, hehehe. Ya, dia Rendik. Bersama Arif, Ade, Gebby, dan si raja usil Gilang, tentu saja. Hahaha...

Obrolan berbalut canda terus mengalir, hingga akhirnya pandanganku melayang ke luar pagar, di mana ada Kijang biru terparkir. Oh, jalan-jalannya sekarang ternyata. Segera kutukar baju, kusiapkan tas, dan berpamitan pada ibu. Ibu juga sempat menemui tujuh sahabat kecilku itu, dan beliau pangling melihat mereka yang banyak berubah sekarang. Apalagi pada Gilang, yang berambut spike dengan postur tinggi besar.

Hujan yang masih betah membasah, tak sanggup halangi ingin kami untuk melewatkan hari ini bersama-sama. Segera Ade membawa Kijangnya masuk ke halaman. Aku duduk di jok deret tengah, bersama Rendik, dan dua gadis cantik itu, Ajeng dan Santi. Gilang dan Gebby di barisan belakang, sedang Arif menemani Ade yang duduk di balik kemudi.

Perjalanan terasa makin seru bersama cakap penuh kenangan. Paling banyak diramaikan oleh kisah enam tahun merah putih, khususnya kebandelan Gilang yang tak banyak diketahui Ajeng. Gadis yang kini tinggal di Bekasi itu sempat memelototi Gilang saat kulapori bahwa dulu aku sering menjadi korban keisengannya. Kami kompak menggemakan tawa saat wajah Gilang memerah. Hahaha, maaf ya Lang, it's just kidding. I've forgave you...

Kijang masih menerjang pasukan hujan yang makin ganas berperang, membelah jalan raya yang tergenang air dengan kecepatan sedang. Kusempatkan berfoto dengan mereka. Sayangnya Ade dan Arif tak terlihat. Ade masih serius menyetir, dan Arif yang mengambil gambar kami berenam.
Beberapa saat kemudian, mobil terparkir di halaman sebuah warung. Oh, ini daerah Ngunut rupanya. Kami segera keluar mobil dan memasuki warung. Aku menuju lesehan yang sudah ditentukan, dan beberapa menit kemudian, Ajeng tiba dengan dua piring sajian di tangannya. Salah satunya pesananku, nasi kari ayam. Yang lain pun menyusul dengan pesanan masing-masing.
Mereka bertujuh segera menikmati makanannya, sementara aku malah sibuk membuka Facebook dari ponselku. Ya, ingin meng-upload foto yang diambil dalam perjalanan tadi. Mumpung ada wi-fi gratis, hehehe. Setelah urusan upload sukses, segera kulahap pesananku, bersama segelas es jeruk.

Sesaat kemudian, semua piring kosong. Gelas hanya menyisakan bongkahan es batu. Namun kami masih betah duduk, meramaikan warung lengang itu dengan guyonan kami. Ya, sekalian menunggu hujan, barangkali ia ingin mereda sebentar lagi. Keenam temanku larut dalam permainan dadakan yang diciptakan Ajeng. Tapi aku tak terlalu antusias mengikutinya, karena masih asyik mengunjungi dunia maya. Begitu pula Santi yang serius menjawab teka-teki silang di tablet Ajeng. Kami baru semangat dan kompak bergaya saat Arif mengarahkan kamera digital dan mengabadikan gaya kocak kami dalam beberapa jepretan.

Penunjuk waktu di layar ponsel memberitahuku tentang rangkai jam dan menit yang mengawal sore ini. Enambelas tigapuluh. Segera kami sudahi dialog seru ini, mengemasi bawaan, dan keluar dari warung. Di luar, hujan hanya menyisakan rintik jarang.
Kijang melaju lagi, masih dalam kendali Ade. Kali ini menuju rumah Gilang yang tidak jauh dari warung tadi. Ingin menunaikan Ashar di sana, sekalian main.

Sampai di rumah Gilang, kami dipersilakan masuk oleh bibinya. Aku dan Santi, yang kebetulan sedang tidak shalat, duduk bersebelahan di salah satu sofa. Sementara Ajeng dan lima lelaki itu ke belakang untuk berwudlu. Kemudian, bibi Gilang muncul membawa nampan berisi beberapa gelas teh, disusul beberapa toples makanan ringan.
Sesaat kemudian, ibu Gilang menemui kami, bersamaan dengan mereka yang selesai shalat. Beliau menyapa kami dengan ramah dan mengingat-ingat nama dan wajah kami. Ternyata beliau masih ingat padaku, hehehe... Ada banyak cerita tentang masa kecil Gilang yang terekam lagi lewat obrolan itu. Ternyata, lelaki kecil yang bandel itu manja juga, hahaha....

Senja mulai mengintip dari sela langit bermega mendung. Kami pun mohon pamit, karena hujan juga malah deras tertumpah lagi. Kijang langsung gesit melaju tanpa menunggu banyak waktu.
Di mobil, dialog seru masih berlanjut. Tapi Ajeng mulai terlelap. Ya, mungkin dia memang lelah. Ia baru sampai di Blitar pada Sabtu pagi kemarin. Ditambah lagi, cuaca seperti ini memang sangat mudah membuat mata terpejam. Untuk mengusir sepi, radio mobil pun dinyalakan.

Tak terasa, mobil makin dekat menuju rumahku. Ade sempat berhenti di sebuah minimarket, membeli sebotol minuman ringan untuk mengobati dahaganya. Dan akhirnya, mobil pun berhenti di halaman rumahku. Aku ingin langsung turun, tapi Gilang mencegah. Ternyata Ajeng sudah ke dalam untuk mengambil payung.  Aku menunggunya setengah tak sabar. Tiba-tiba, aku dikejutkan dengan suara heboh dari luar. Bersamaan dengan itu, Ajeng tiba dengan sebatang payung di tangannya. Buru-buru aku turun, karena sudah penasaran dengan keriuhan tadi. Dan tawaku langsung pecah saat tahu penyebabnya. Rendik berdiri di teras dengan sandal, jeans, dan kaos yang kuyup. Rupanya dia tadi masuk dengan cara melangkahi kolam, hehehe... Rendik tak tahu bahwa ada jembatan di sisi kanan kolam, dan orang biasa masuk lewat situ. Hmm, lagi-lagi, kolam ikan yang memang tak terlihat pada malam hari itu memakan korban, setelah beberapa waktu lalu ada tamunya ayah yang juga basah kuyup akibat melewati kolam itu. Maaf ya, Ren. Besok akan kupasang papan peringatan, agar tak ada lagi orang yang kebasahan, hehehe...

Usai tragedi menggelikan itu, kupersilakan mereka masuk ke dalam untuk shalat. Ayah dan ibu juga sempat bertemu dengan tujuh sahabat lamaku itu. Setelah shalat, kami kembali ke teras, meneruskan rangkaian kisah yang seperti tak punya ujung. Sungguh, it was look like a miracle day for me. Tak pernah kutemui ruang teras yang seriuh itu bersama mereka.

Tak hanya ngobrol, kami juga berfoto-foto lagi dengan pose yang lebih kocak. Tak lupa sambil menikmati camilan sekadarnya. Sayangnya waktu kini seakan berlari lebih cepat dari biasa. Pukul 19.45, mereka mohon diri, meski hujan masih enggan menepi. Aku agak kecewa, tapi bisa mengerti. Ade dan Gilang harus segera kembali ke Malang karena Senin esok ada kuliah pagi. Begitu juga Ajeng yang harus menyusul ibunya ke Surabaya di dini hari nanti. Hanya Arif, Rendik, Gebby, dan Santi yang menetap di Blitar, karena mereka masih punya waktu luang beberapa hari ke depan.

Kupandangi Kijang biru tua yang keluar dari halamanku dengan wajah penuh senyum dan keharuan. Sungguh, Sahabat, 22 Desember ini, semua oleh-oleh yang kalian bawa sudah kunikmati. Sepiring sapa ramah, sekotak tawa renyah, segelas jabat hangat, sebungkus kenangan, yang menyatu dalam sekeranjang kebersamaan.

Terimakasih, yang tak terhingga, bukan hanya karena kalian masih menyimpanku dalam buku memori, tapi juga untuk seluruh kisah enam tahun merah putih, dan kebersamaan yang tetap indah terjalin hingga kini. Semoga kita masih diijinkan bertemu lagi, dengan keriuhan yang lebih dari ini, dengan perjalanan yang lebih jauh dari ini ^_^

Mungkin, banyak orang yang bernama "teman" di sekitarku. Namun hanya sedikit yang bisa kunamai "sahabat". Kalian ada, di barisan sahabatku. Sahabat sejati... Terimakasih sahabat, atas bingkisan pertemuan ini...

22 Desember 2013
Adinda Dara

Makan bareng di sore yang hujan

Masih asyik pose walau piring sudah kosong
Aku, Ajeng, Ade


Rendik, Aku, Arif, Ajeng, Ade

Ajeng dan Ade dalam gaya Chibi ;)

Keep smile! :)
Aku, Ajeng, Gilang, Gebby, Ade, Santi, Rendik


Ajeng & Gebby
Ajeng & Gilang


Aku, Ajeng, Gilang
Aku, Ajeng, Ade, Gebby






 

Posting Komentar

0 Komentar