Tiga Hari Saja; Terkenang Selamanya (3)

Kenangan menjelma dupa
Harumnya merasuk ke mana-mana
Membelai helai rindu yang selalu muda...
-Payung Teduh




Minggu, 30 April 2024

Hari Minggu yang tidak biasa. Dini hari tadi, diri susah tidur, sebab kepala menuntut banyak hal yang harus dipikirkan.
Ada sedih membayangi sejak pagi.

Dua paket dimsum lekas dipesan. Sembari menunggu, kaki dipaksa melangkah ke kamar mandi. Merasakan air yang tak terlalu dingin, harum sabun, dan segar pasta gigi.

Baju dipilih dari lemari. Sederhana saja, hanya kemeja merah marun yang dipadu celana dan jilbab hitam.
Dimsum datang, maka mari bersiap.

Berangkat menjemput perpisahan....

***

Pelataran Patria Plaza Hotel nampak lengang. Saya turun dari motor dan sedikit kebingungan mencari tempat duduk. Langkah tertatih saya dicegat oleh seorang resepsionis berparas cantik.

Diarahkan menuju sebuah bangku di foodcourt, saya pun duduk di salah satu kursi. Dari pesan WhatsApp, Ajeng mengabarkan masih bersiap di lantai atas.

Saya pun duduk menunggu bertemankan segelas teh tawar dan kentang goreng.

Sekitar 15 menit kemudian, sosok jangkung Kak Didi tertangkap mata. Lelaki itu menuruni tangga sambil membawa dua koper. Ajeng dan Dylan menyusul di belakangnya.

Kak Didi duduk di teras depan kamar bersama koper, sedangkan Ajeng menghampiri saya di foodcourt. Ada langkah lincah Dylan mengikuti.

"Dinda, jadi ikut ke stasiun?"

Sebaris pertanyaan yang terpaksa tidak saya iyakan kali ini. Sebab, saya ingat, sepertinya ojek online dilarang menjemput di areal stasiun.

"Maaf, ya."

Ucap saya kemudian. Ajeng mengerti, tentunya. Kali ini, obrolan tak terangkai terlalu lama. Taksi online yang terlalu cepat datang, memaksa cerita harus lekas dituntaskan.




Kami pun menyempatkan foto bersama. Ada haru dalam benak saya saat bertukar jabat tangan dengan keluarga kecil ini. Dylan pun mengulurkan tangan mungilnya, yang segera saya sambut.

"Dylan pulang dulu ya, Tante. Nanti kalau Dylan ke sini lagi, Tante ajakin sepupunya yang masih kecil, ya. Aku mau main UNO bareng."

Saya tertawa pelan mendengarnya. Yang dimaksud Dylan tentu Aufa, sepupu paling kecil dalam keluarga besar saya. Dia juga gemar bermain UNO.

Saya mengiyakan, sambil menyematkan sedikit pesan untuk lelaki kecil penyuka Doraemon ini, agar selalu menuruti kedua orang tuanya dan menjadi anak pintar.

"Aamiin... makasih yaa, Tante."
Begitulah jawab Dylan, yang membuat saya terpana sesaat.

Sebelum masuk mobil, saya dan Ajeng bertukar bingkisan. Sekotak dimsum dibawanya, dan ada sebuah tas berisi camilan yang saya terima.

Mobil sempat memutari halaman hotel sebelum keluar gerbang. Selama beberapa detik itulah lambaian tangan dan senyum Ajeng terlihat dari balik kaca mobil yang terbuka.

Saya membalasnya dengan rasa campur aduk. Teringat dulu saat SD, saya menangis saat Ajeng pulang selepas main ke rumah saya; juga saat dia pamit pindah ke Bekasi.

***

Terima kasih Ajeng, Kak Didi, dan Dylan untuk kunjungan dan temu yang begitu berkesan. Rindu itu sudah tercipta sejak kalian beranjak ke stasiun, dan kini makin menggunung saja.

Dan, untuk Ajeng Nur Indah Sari; rupanya jarak sungguh bukan penghalang bagi kita untuk tetap bersahabat, ya.




Rasa terima kasih saya tidak pernah habis untukmu. Meski kamu tak selalu ada; namun jadi salah satu sosok yang paling bisa menerima saya apa adanya, juga bersedia mendengar tanpa menghakimi sekalipun.

Semoga saya segera diberi kesempatan berkunjung ke Bekasi, nantinya. Tetaplah jadi Ajeng yang cantik, kuat, bijak, ceria, dan berkemauan keras; seperti sekarang. Sehat selalu, ya!

Di Blitar atau Bekasi; sampai bertemu lagi![]

Blitar, Juni 2024
Adinda RD Kinasih




Posting Komentar

0 Komentar