Cahaya Baik Itu Telah Pergi



Hari itu, 31 Agustus 2008. Sehari menjelang Ramadan. Membaca kembali tulisanmu di kertas itu bersama rasa sesak yang tak kunjung reda.
Baru aku tahu, huruf Jepang dalam kesan itu artinya: "Dia orang yang cantik, baik, dan menyenangkan."

Setidaknya, itu yang tertulis di buku harian usangku. Satu-satunya yang ia tinggalkan.

Ya, kali ini saja, biarkan 'aku' yang bercerita. Sementara lupakan dulu 'saya'.
***

Malam belum terlalu larut, saat baru saja ingin kumulai lagi menulis artikel selanjutnya.

Sejenak membalas pesan Mama di Whatsapp, lalu beralih ke deretan story. Sebentar saja, ingin tahu kabar beberapa orang.

Tiba-tiba, foto dengan ornamen karangan bunga itu muncul selintas. Dahiku mengernyit, lalu melihat kembali foto itu.

Lambat-lambat terbacalah setiap kata.
Ungkapan duka cita, berpulang, disertai rangkuman doa. Untuk sebuah nama itu...

Seluruh tubuh membeku seketika. Rasanya sulit dipercaya. Lidah tercekat. Air mata enggan keluar, karena sebegitu terkejutnya.
Tapi, sesak di dada sungguh tak bisa ditahan. Percuma dilawan.
***

Sebuah nama yang terdiri dari tiga kata itu tidak pernah sekali pun hilang dari ingatanku. Meski entah sudah berapa lama jarak dan waktu memisahkan kami.

Sungguh beruntung, buku harian usang itu masih ada di sini. Dialah saksi bisu, tapi terasa hidup berkat kata-kata yang tertoreh di buram kertasnya.
Rangkaian kata di sana membawa memoriku kembali pada waktu itu.
***

31 Agustus 2008, sehari menjelang Ramadan. Pagi separuh siang. Hari itu, acara launching FLP Blitar, di Panti Sosial Bina Remaja. Ini aku, remaja SMA kelas dua, 16 tahun. 

Perlahan langkah tertatihku memasuki sebuah aula yang padat manusia. Aku yang tidak terbiasa berada di tengah keramaian apalagi di tempat asing, langsung merasa bingung dengan apa yang harus kulakukan.

Kabarnya, sahabatku sudah hadir di sana. Tapi sosoknya tak tampak. Mungkin dia masih sibuk karena menjadi panitia hari itu.

Bagaimana ini? Di mana aku harus duduk? Semua kursi terlihat penuh. Aku tidak bisa berdiri terlalu lama. Beberapa pasang mata mulai mengarahkan tatap heran (atau kasihan) padaku.
Ya, apalagi jika bukan karena kondisi kaki ini.

Tiba-tiba, gadis berkacamata itu muncul menyambutku. Aku sudah lupa warna jilbab dan gamisnya, tapi selalu ingat senyum hangat itu.

Dia menggandengku menuju deretan kursi tempatnya duduk. Menunjuk sebuah ruang kosong di sampingnya untuk kutempati.
***

Dan, dialah gadis itu. Seseorang bernama tiga kata yang memiliki impian tinggi, menyukai segala tentang Jepang, menggemari aneka buku, hobi membaca dan menulis.

Itu kali pertama, sekaligus kali terakhir aku bertemu dengannya secara langsung. Selepas itu komunikasi kami hanya melalui pesan, yang lambat laun makin jarang. Aku tidak tahu kesibukan apa saja yang mengepungnya.

Tapi untungnya, ketika pertemuan itu aku sempat memintanya menulis sedikit data diri di kertas yang kubawa.
Dan, hanya itulah miliknya yang kupunya. Darinya yang masih tertinggal di sini.

Sepanjang menulis ini, dadaku makin sesak. Air mata yang tadinya enggan keluar kini bersiap tumpah.

Mbak, bagaimana kabarmu? Apakah kamu sudah pergi ke Jepang? Apakah kamu berhasil masuk ke jurusan Bahasa Jepang di universitas itu? 

Satu hal yang kusesali Mbak. Kenapa kita tidak sempat foto berdua waktu itu. Aku tahu, ponsel zaman dulu tidak secanggih sekarang.

Tapi saat itu setidaknya pasti ada kamera yang digunakan untuk mendokumentasikan acara. Ah, kenapa hal itu tidak terpikir olehku saat itu?

Hari ini, ketika membaca berita duka yang menyematkan namamu, hanya sesal dan sedih yang tersisa.

Mengapa setelah sekian lama kita tidak berjumpa, justru kabar ini yang datang suguhkan duka? Mengapa Tuhan memanggilmu pulang, hanya berselang empat hari setelah ulangtahunmu?

Mbak, meski begitu singkat perjumpaan kita, semua kenangan tentangmu tidak pernah luput dari kepalaku. Begitu pula tiga kata indah yang terangkai menjadi namamu.

Hanya selembar data dirimu yang kupunya. Biodata sederhana dengan foto hitam putih tertempel di bagian bawahnya. 

Malam ini sosok manis itu telah pergi. Seseorang yang pernah memberi warna dan pijarkan cahaya bagi setiap orang di sekelilingnya.

Cahaya itu pergi, naik ke tempat yang lebih baik. Namun, segala kenangan akan selalu hidup di sini. Nama itu pun selalu tersimpan di hati.

Terima kasih Mbak, sempat mewarnai masa remajaku dengan kata-kata bijak itu. Curhat-curhat masa muda yang tersampaikan lewat pesan singkat. Bertukar kabar di telepon, meski tak sering. Juga untuk novel tetralogi Laskar Pelangi yang pernah kamu pinjamkan padaku.

Selamat jalan, Mbak Heva Nur Latifah. Terimakasih sempat mengisi hidupku dengan hal-hal sederhana yang penuh arti.
Semoga cahaya surga selalu menyinarimu, berkat segala kebaikanmu di dunia.[]

2 Oktober 2023
Untuk Sang Cahaya Baik,
Innalillahi wa innailaihi raajiuun. Al-Fatihah...

Posting Komentar

0 Komentar