Pukul Empat, di Teriknya Kota M



Satu

Ini pukul empat, di teriknya Kota M.

Pada sebuah pelataran, lelaki berkaus hijau muncul bersama sebatang sapu di tangannya. Ia keluar dari sana, sebuah bangunan bernuansa putih, bernama Triple C.
Kemudian bersama sapunya, ia lekas membersihkan bagian depan tempat yang luas itu.

Tak berselang lama, terlihat wanita berambut sebahu. Blus hitam melekat di tubuh rampingnya. Lelaki itu berhenti menyapu. Duduk di salah satu bangku, ia segera menukar rangkai kata dan tawa dengan sosok manis itu.

Pemuda berkemeja hitam menyusul kemudian. Menyapa dua orang itu sebentar, sebelum sibuk mengangkat tumpukan bangku bulat dan menatanya satu persatu.
Diangkatnya pula sebuah meja bundar, dan diletakkan pada sudut yang tepat.

Belum usai aktifitas menata bangkunya, tiba-tiba bahunya ditepuk dari belakang.

"Eh, iya Mas?" pemuda berbaju hitam menoleh dengan sedikit kaget.

"Kedainya sudah buka, Mas? Saya mau pesan."

Seseorang berjaket biru itu yang bicara.
Sejak tadi ia duduk di bangku bagian tengah, serius menatap ponsel di tangan kiri, dan sesekali mengisap separuh batang rokok yang dicepit dua jemari kanannya.

Sejenak kemudian, segelas es kopi susu telah tersedia di sampingnya. Bersamaan dengan kopi, dua perempuan menghampiri. Seorang berambut sebahu yang tadi, dan seorang lagi berbaju hijau motif bunga. Mereka bertiga segera terlibat obrolan seru.
***

Dua

Masih pukul empat, di teriknya Kota M.

Pintu mobil terbuka. Tubuh itu keluar dari bangku belakang yang sejak tadi jadi tempatnya bersandar. Perlahan menaiki anak tangga, menuju bangunan itu, dan mendorong pintu kaca.

Pria berkemeja hitam menyapa ramah dari balik meja bar. Menyodorkan buku menu, jelaskan sejumlah minuman andalan. Mendadak, tubuh itu agak oleng sesaat, namun berhasil tegak berdiri lagi setelah berpegangan pada ujung meja.

"Ini aja, Mas." putusnya seraya menunjuk sebuah gambar minuman.

Warna hijau berpadu dengan krim putih dan taburan kacangnya terlihat begitu menggiurkan. Lawan bicaranya mengiyakan.

Langkah itu tertatih keluar usai membayar. Hendak menunggu di bangku panjang di pelataran.
Sejenak memandangi sekeliling, matanya tertumbuk pada plang di sudut kanan. Triple C: City Center Coffee. Itulah nama kedai yang dimasukinya tadi.

Dari pengeras suara yang entah di mana, suara penyanyi pria asal Malang dengan Misteri Minggu Pagi-nya menarik perhatian sepasang telinga.

Tak tersentuh dingin bintang
Yang kupesan semalam
Cek cek pesanmu dari siang
Tak kunjung datang

Tertegun lama dirinya, teringat pada kotak-kotak pesan yang memuat banyak tanya dan sapa lama tanpa balasan.

Sedikit terkejut saat minuman hijau itu sudah tiba di meja. Masih diantar oleh orang yang sama. Bersama ucap terimakasih, dibalaslah senyum itu sekadarnya.
***

Tiga

Mobil kelabu gelap itu melaju lagi. Membelah jalanan kota yang justru nampak sepi. Berbeda dengan sebelumnya, kini tubuh itu terlilit sabuk pengaman di jok depan.

Segelas minuman hijau itu menemani di sampingnya. Namanya Avocado Delight rupanya. Begitu yang ia baca pada kertas nota.

Radio mobil berbunyi tiba-tiba. Hanya sebuah suara berisik karena sinyal yang kurang pas.
Tapi setelahnya, alunan musik yang diduga perpaduan gitar, piano, dan biola terdengar.

Awalnya ia acuh tak acuh. Radio ini asing, apalagi lagunya. Begitu pikirnya sembari meneguk kopi rasa alpukat itu dengan nikmat.
Rasanya langsung bersahabat di lidah. Segera menandaskannya tentu jadi sesuatu yang mudah.

Lima bulan kita tak bersua
Tanpa menyapa atau sekedar bercerita
Bagaimana kabarmu selama ini
Masihkah kau dengan kopi favoritmu

Lirik itu terdengar merdu, masih dari radio yang sama.

Mata itu membelalak. Minuman yang tengah berada di mulut pun tertahan. Rasanya, tenggorokan ini ikut kaget hingga tercekat.
Lidah terasa pahit setelahnya. Menelan minuman seketika jadi perkara yang sulit ia hadapi.

Sepanjang lagu mengalun, selama itu pula airmata meluncur turun. Berusaha keras menyamarkannya akan percuma saja. Sebab, lagu asing ini bukan hanya sekadar lagu. Baginya, ini kisah pilu yang berusaha keras ia tutupi dengan tawa keras setiap harinya.

Jelang tembang selesai, diliriknya jam di ponsel. Dahinya mengernyit heran. Masih pukul empat? Adakah waktu sedang enggan berganti? Seperti rasa itu, yang masih saja berada di sana, meski jelas ia tak punya tempat lagi?[]

Pada satu sore yang mentarinya garang; di Kota M. 13 Agustus 2023.

Inspired by:
A song by Sal Priadi, Misteri Minggu Pagi.
A song by The Moon Star, Minggu Sore.
A coffee shop in the center of a city, and its delicious Avocado Delight.

Posting Komentar

0 Komentar