The End-Year Greatest Gift

Part 3 

Coba kau tunjuk satu bintang
Sebagai pedoman langkah kita
Jabat erat hasil karyaku
Hingga terbias warna syahdu 

Akan ku ukir
Satu kisah tentang kita
Di mana baik dan buruk
Terangkum oleh indah 

Suara Duta terhenti, seiring mesin mobil dan tape yang mati. City car hitam itu terparkir di pelataran restoran yang cukup fancy di kota ini. 

*** 

Rabu, 21 Desember. Ajeng masih ada di Blitar, dan saya masih merasa ini seperti mimpi. Ajeng? Ada di Blitar? 

Ya. Sejak pertemuan terakhir kami pada 2014 lalu, saya rasa, bisa bertemu lagi dengan Ajeng di Blitar kemungkinannya hampir tak ada. Apalagi saat pandemi menggempur selama hampir dua tahun terakhir. Rasanya makin mustahil.




Tapi ternyata saya salah. Begitulah. Manusia hanya bisa berprasangka, tapi Tuhan tetap jadi penentunya. 

Sejak pagi, kami bertiga sudah saling menyahuti pesan di Whatsapp. Kami; Ajeng, Dimas, dan saya. Hari ini, Dimas memang sengaja mengosongkan jadwalnya untuk menemani Ajeng dan Kak Didi. Sementara, saya harus bekerja, dan baru bisa bergabung sore nanti. 

*** 

"Eh, Pak, Pak! Berhenti! Grab dilarang masuk!" 

Driver ojek yang saya tumpangi spontan mengerem. Dua security berbaju hitam tampak mengawasi dari sisi kanan. Driver ojek meminta maaf karena tak bisa mengantar saya lebih jauh. Tak apa. Saya pun turun dari motor dan meminjam kursi di pos jaga. Tak lupa saya kabari Dimas dan Ajeng jika sudah sampai di sini. Hotel Puri Perdana, tempat Ajeng dan Kak Didi menginap.




Tak lama kemudian, sebuah city car hitam muncul dari areal dalam. Saya bisa melihat wajah Kak Didi dari jendela mobil yang separuh terbuka, duduk di samping Dimas yang menyetir. Mobil Dimas itu pun berhenti di hadapan, dan saya segera naik di jok belakang, di samping Ajeng. 

*** 

Tadinya, saya kira, acara hari ini hanya makan bersama di suatu tempat, seperti kemarin dan siang tadi. Siang tadi, Dimas, Ajeng, dan Kak Didi sempat mengunjungi Kampung Coklat dan De Koloniale. 

Tapi, tebakan saya kurang tepat. Rupanya, Ajeng sudah memesan sebuah studio foto untuk kami semua. Bernama Storylines, berada di sebuah perumahan kawasan Jalan Sulawesi. Kami kebagian jadwal foto selepas Maghrib nanti.




Mobil melaju menyusuri Jalan Merdeka, berbelok ke Jalan Masjid, dan terhenti. Dimas memarkir mobil di luar areal Masjid Agung. Kami turun, lalu berjalan menuju Alun-Alun. Genggaman tangan Ajeng terasa hangat, sehangat senyumnya saat tiba di tempat ini. 

*** 

Dimas, saya, dan Ajeng duduk dialasi banner, mengobrol dan melihat sekeliling. Saya tersenyum melihat lima orang duduk bergerombol di sudut yang tak jauh dari kami. Mereka sepertinya sekeluarga, asyik berbagi tawa sambil memainkan latto-latto, mainan lawas yang kembali nge-tren saat ini. Sementara Kak Didi lanjut berjalan mengelilingi Alun-Alun. 

Tak terasa, Maghrib tiba. Dimas dan Kak Didi menuju masjid, sementara saya dan Ajeng tetap menunggu di sudut Alun-Alun. Cerita Ajeng tentang seberapa besar cintanya pada Blitar masih berlanjut.




Markas Yonif 511, hingga RSIA Aminah adalah tempat yang sarat kenangan baginya. Sampai-sampai, ia berkeinginan menuju ke Aminah, dan menemui dokter kandungan yang membantu proses kelahirannya dulu. Sayang, waktu kurang memungkinkan. 

"Tahun depan aku ke sini lagi, ya." ucapnya, yang segera saya iyakan penuh semangat. Ya, pertemuan ini memang terlalu singkat. Membuat rindu ini tidak hilang, justru makin kuat. 

*** 

Sekembalinya Kak Didi dan Dimas, kami pun kembali ke mobil. Melaju lagi, tapi saya lupa rutenya, hehehe. Yang saya ingat, mobil melewati jalanan kecil yang agak gelap. Berbelok dua kali, dan akhirnya berhenti di depan sebuah rumah mungil. Ada jendela yang dibuat mirip loket karcis di depan. Ada pula dua kursi panjang. Di salah satu sudut dinding, terpasang kolase foto hitam putih dari beberapa orang.





Saya duduk sejenak sambil memandang sekeliling. Oh, beginikah studio foto itu? Hahaha. Rasanya seumur-umur, baru kali ini saya ke studio foto. Oh ya, dulu pernah juga ke Garden Photo Studio di Jalan Veteran bersama semua keluarga. Saat itu saya masih TK. 

*** 

Ajeng mengajak saya masuk. Ruang fotonya tidak terlalu luas, dan sudah dipasangi kain putih sebagai background. Ada kamera yang bisa di-handle sendiri menggunakan remote, lengkap dengan screen berukuran sedang. Terdapat juga sejumlah properti foto, seperti bebungaan dalam vas, balok kayu sedang, juga kacamata.




Tanpa menunggu waktu lagi, kami segera memasang banyak gaya. Berempat, bertiga, berdua, hingga sendiri. Jika dihitung-hitung, jepretan kamera kami mencapai 100 kali selama 20 menit tadi. Wow! 

*** 

Kini, giliran cacing di perut yang minta dimanjakan. Baiklah. Mobil kembali melintasi jalanan Blitar yang sudah tak seramai tadi. 

Nata Coffee and Eatry, sebuah tempat makan baru di kota ini. Saya belum pernah ke sini, hanya sering lewat saja. Dimas yang merekomendasikannya untuk dikunjungi malam ini, dan kami setuju.




Tempat ini lebih tepat disebut fine dining restaurant, ketimbang kafe, karena desain interiornya yang mewah. Sayang sekali, saat kami sampai, menu nasi telah habis. Maka, saya menjatuhkan pilihan pada es cokelat dan seporsi Mie Sapi Sechuan, sebuah hidangan mie telur, lengkap dengan kaldu dan potongan daging, juga irisan cabai dan daun bawang.




Di sela menikmati pesanan masing-masing, kami belum kehabisan gaya untuk diabadikan. Belum pula kehabisan bahan obrolan. Seperti biasa, Kak Didi masih sibuk membuka laptopnya. Pukul sepuluh nanti, ia ada rapat rutin. 

*** 

Maka, saat hampir pukul sembilan, kami beranjak ke tujuan selanjutnya. Ke rumah Dimas dulu, untuk mengambil motor sewaan. Lalu ke De Koloniale, untuk mengambil kabel Kak Didi yang tertinggal di sana.




Berlanjut ke rumah saya. Dimas pamit pulang, sedangkan Ajeng dan Kak Didi mampir sebentar. Kebetulan, sudah hampir pukul sepuluh juga. Jadi, Kak Didi sekalian akan rapat di rumah saya saja. Saya tentu gembira saat tawaran itu ia terima. Jadi bisa lebih lama berbincang dengan mereka.






Sekitar pukul sebelas kurang, mereka mohon diri. Ada sedikit sesak di dada saya saat menyadari inilah hari terakhir jumpa kami. Besok Ajeng pulang ke Bekasi. Meski keretanya berangkat sore, tapi saya tetap tak bisa temani di pagi harinya, karena harus bekerja.[] 

Bersambung...





Posting Komentar

0 Komentar