The End-Year Greatest Gift

Part 2 

If a friendship lasts longer than 7 years, psychologists say, it will last a lifetime.
-Anonymous 

Berada di tempat ini lagi. Memesan Japanese Iced Coffee dan cheesecake. Baru saja akan menelisik sebuah buku baru, Jogja Bawah Tanah, lelaki berkacamata itu membuka pintu kaca. Di wajahnya tergambar senyum lebar, sebagai reaksi atas terbelalaknya saya. Kok, dia ada di sini? 

"Kamu kok di sini pas weekday begini?" 

Begitu tanya saya saat ia menghampiri kursi di hadapan. Ia, Dimas, hanya tertawa, lalu menuju meja bar untuk memesan. Sejak beberapa bulan terakhir, Dimas memang pindah ke Purwokerto untuk mengajar di salah satu kampus di sana. Biasanya, Dimas baru pulang ke Blitar saat akhir pekan.




"Kan, diajakin Ajeng." jawabnya singkat. Oh ya, saya baru ingat. Dalam pesan Whatsapp beberapa saat lalu, Ajeng bilang akan mengajak Dimas juga. 

Bersama satu mug lemon tea hangat, Dimas bercerita bahwa ada beberapa urusan yang menahannya di Blitar hingga beberapa hari ke depan. Saya mengangguk, lalu melongok layar ponsel sebentar. Belum ada pesan lagi dari Ajeng. Dalam pesan sebelumnya, ia bilang ingin mampir ke sebuah toko skin care sebelum menuju kedai. 

*** 

Kekhawatiran mulai menyergap. Bagaimana jika nanti Ajeng tersasar? Saya tahu, Ajeng dan Kak Didi tidak naik ojek online atau kendaraan umum lain, tapi menyewa motor. Saya pun kembali mengetik pesan, menanyai di mana posisi Ajeng saat ini.




Belum sempat menekan tombol send, suara pintu kaca yang didorong terbuka mengalihkan mata saya dari ponsel. Oh, Mas Ardi rupanya. Tapi, lalu mata saya tertahan lebih lama ke arah yang sama. 

Ada yang mengikuti Mas Ardi masuk kedai. Seseorang bergamis hitam dengan outer coklat muda, bersama senyum khasnya yang langsung saya kenali. Ajeng!

***

Ajeng langsung menghampiri saya. Bertukar jabat tangan dan pelukan sejenak, lalu ia mengambil tempat di samping saya. Tubuh jangkung Kak Didi menyusul kemudian, menuju meja bar. Memesan sebentar, kemudian menempati kursi di hadapan Ajeng. 

Terdiam untuk beberapa saat, saya masih tak menyangka dengan apa yang terjadi hari ini. Yang di samping saya ini sungguhan Ajeng, sahabat kecil yang selalu saya ingat dan rindukan. Yang biasanya hanya bisa saya sapa lewat pesan, telepon, atau videocall.




Kemudian, mata saya beralih pada lelaki di depan Ajeng. Bernama cukup unik, Dwindy Stanza; biasa dipanggil Didi. Nama yang sebenarnya tidak asing untuk saya, karena Ajeng cukup sering menyebutnya dalam komunikasi kami selama ini. Akhirnya, hari ini saya bertemu langsung dengannya. 

"Kak, terimakasih udah anter Ajeng ke Blitar, ya." ucap saya sambil merangkul Ajeng erat. Kak Didi mengiyakan dan tersenyum. 

*** 

Mereka berangkat dari Stasiun Gambir hari Senin malam, pukul 18.40, dan tiba di Blitar pada Selasa pagi. Rupanya, mereka berdua sudah cukup matang merencanakan ini. Selain sudah memesan hotel di kawasan Jalan Anjasmoro, juga menyewa motor hingga Rabu sore. Ya, kunjungan kali ini memang hanya sebentar, karena sejumlah urusan di Bekasi tak bisa ditinggal terlalu lama. 

Ajeng pun bercerita, sebenarnya perjalanan ini terancam batal. Dylan mendadak demam sebelum mereka berangkat.
"Untungnya pas Senin sore udah reda panasnya, Din." ujar Ajeng. 

Tak hanya banyak cerita, tak lupa kami mengabadikan banyak gaya lewat kamera ponsel. Sayangnya, Dimas tak bisa terlalu lama bergabung, karena sudah ada janji lain.




Tak terasa, sudah hampir pukul sepuluh malam. Saya segera memesan tumpangan. Tanpa disangka, Ajeng dan Kak Didi ingin mengantar saya pulang. Seperti biasa, mereka memaksa saat saya melarang. Maka, baiklah. 

Pasangan muda ini mengikuti ojek saya dengan motor yang mereka sewa. Sayangnya, mereka tak bisa mampir ke rumah. Kak Didi sudah ditunggu rapat penting dengan beberapa klien-nya. 

Apakah pertemuan saya dengan Ajeng dan Kak Didi akan usai di sini saja?[] 

Bersambung...

Posting Komentar

0 Komentar