The End-Year Greatest Gift

Part 1 

...and now, I'm just not surprised when people leave. I'm actually more surprised when they stay.
-Anonymous 




Langit biru berawan putih memayungi Alun-Alun Blitar, di Rabu sore itu. Duduk beralaskan banner, saya memandangi anak kecil yang berlarian di lahan berumput. Sebelum kemudian menoleh pada sosok di samping, melontarkan tanya penuh penasaran.
Sosok manis itu sedikit mengernyitkan dahi, lalu menghela napas dan tersenyum. 

"Kenapa aku ke sini buat nemuin kamu? Yaa...aku kan udah lama janji sama kamu buat ke Blitar, Din. Aku seneng banget bisa sampai sini. Rasanya jadi nggak mau pulang ke Bekasi." 

Tawa kecil mengiringi usainya jawab atas pertanyaan saya tadi, mengapa ia sampai jauh-jauh datang ke sini hanya untuk menemui saya. Memang. Jika bagi saya Blitar adalah kota singgah, baginya Blitar adalah rumah. 

*** 

Ajeng Nur Indah Sari. Nama yang tak pernah hilang dari kotak memori saya. Meski pertemuan kami sesingkat itu; hanya dua tahun di masa SD. Ia gadis pendiam, namun pemberani kala itu. Kadang, ia membela saya dari bully-an Gilang, teman yang dikenal paling usil di kelas. Wajah manis dan rambut panjang dikepang satunya selalu lekat di ingatan. 

Sayangnya, kebersamaan kami dipaksa berakhir secepat ia dimulai. Ajeng harus pindah sekolah jelang kenaikan kelas tiga.
Sebab, Ayahnya yang seorang tentara, harus selalu siap jika dipindahtugaskan kapanpun, ke manapun.




Tahun 2000 adalah masa yang cukup sulit diterima oleh Ajeng kecil kala itu. Saat ia sudah mulai punya teman, menikmati sekolah dan kota ini, ia malah harus ikut sang Ayah pindah tugas ke Jakarta. 

Sejak itu, kawasan Jabodetabek mulai diakrabinya. Ia sempat kuliah dan bekerja di Jakarta, lalu bertemu belahan jiwa di sana. Kini ia tinggal di Bekasi bersama kedua orangtua, suaminya, Kak Didi, dan Dylan, putranya. 

*** 




Sebenarnya, pertemuan kembali saya dengan Ajeng pernah terjadi di tahun 2014. Saat itu ia diajak beberapa teman SD mengunjungi rumah saya. Kalau tak salah, di bulan Desember juga. 

Tak banyak waktu yang kami habiskan, hanya makan bersama di sebuah warung kawasan Ngunut, lalu kembali ke rumah saya, mengobrol dan berfoto. Jam 10 malam, mereka semua mohon diri. Ajeng langsung ke terminal untuk menuju Surabaya, menemui kakaknya, sebelum kembali ke Bekasi dan menikah dengan Kak Didi. 

*** 

Meski telah berkeluarga dan tinggal cukup jauh, komunikasi kami masih cukup intens. Walau hanya lewat rangkaian kata dalam pesan singkat BBM dan Whatsapp. Sesekali juga telepon atau videocall




Kami kerap saling curhat dan berbagi cerita masa kecil dan keseharian. Salah satu momen yang menggembirakan buat saya adalah setiap Ajeng mengirim hasil gambarnya. Ia memang gemar dan berbakat dalam dunia desain grafis. 

Ada satu kebiasaan Ajeng yang selalu saya larang tapi tetap ia lakukan; yakni selalu mengirim kado setiap 15 September. Tahun ini, ia mengirim mug cantik bersama sejumlah pernak-pernik. Tahun lalu, pudding tart. Tahun sebelumnya lagi, buku jurnal. Beberapa tahun lalu, tas. Dan entah apalagi yang ia kirimkan. 

*** 




Tapi rupanya, semesta-lah yang lebih hebat dalam memberi kejutan. Hadiah itu tak hanya hadir untuk 15 September. Tapi, di tahun 2022 yang hampir berakhir ini, Ajeng benar-benar hadir di Blitar secara tak terduga. 

Ya, akhirnya ia menuju dan sampai di Blitar. Kabar itu tiba di Selasa pagi, 20 Desember, lewat foto kereta yang terhenti. Syukurlah, ia tak sendiri ke sini. Ada Kak Didi yang temani. Saya melonjak girang. Akhirnya! Tak sabar ingin segera berjumpa seusai jam kerja, nanti.[] 

Bersambung....

Posting Komentar

0 Komentar