Perjalanan Berkisah 1 : Bali





Langit meredup, meski pagi itu sudah hampir pukul tujuh. Matahari seperti enggan menampakkan diri, padahal dia tahu banyak manusia yang datang kemari mencarinya.


Duduk di hamparan pasir, tangan dan kaki kegirangan. Memainkan butiran coklatnya. Pasrah diguyur deras ombaknya. Kadang menemukan kerang dan bebatuan cantik, namun untung saja, membawanya pulang rasanya tak tertarik.

Pagi ini, Kuta menawarkan hal yang sama. Indah panorama yang sudah lama tak bersua mata. Hingga tak terasa, sebuah informasi dari pengeras suara memaksa 'tuk beranjak.

Berjalan tertatih menyusuri trotoar, demi temukan mobil yang telah dipindah posisi parkirnya menjadi lebih jauh. Rupanya, pengumuman tadi adalah larangan parkir di depan pintu masuk Kuta. Cukup melelahkan rasanya melintasi trotoar yang jadi licin karena banyak pasir, apalagi hanya dengan memakai sandal.

"Om Swastiastu!"

Tetiba terdengar seruan itu. Kepala yang sedari tadi mengarah ke depan, seketika menoleh ke kanan. Agak terkejut mendapati seorang gadis kecil berambut pirang, berwajah bule, melempar senyuman. Ya, dialah yang baru saja melontarkan sapa itu. Namun, rasanya napas masih terlalu memburu untuk bisa membalasnya. Maka, hanya senyum yang tersungging sebagai pengganti kata-kata.

***

Mobil melaju lagi, susuri jalanan Denpasar yang tak pernah kenal sepi. Barisan patung di kanan kiri seakan beri salam selamat datang. Di tengah teriknya raja cahaya, senyum masih merekah. Tak sabar sambut destinasi selanjutnya.

Dan sampailah. Mata tak henti menyapu sekeliling, sesekali memejam, rasakan udara segar terhirup. Hawa di sini sejuk cenderung dingin.




Desa Penglipuran namanya. Nama yang berasal dari dua kata. Pengeling Pura yang mempunyai makna tempat suci untuk mengenang para leluhur. Sebuah desa adat yang dulu hanya sering disaksikan di televisi, pada sejumlah cerita FTV.

Hari ini, rasanya menakjubkan. Bisa langsung jejakkan kaki di sini. Rumah-rumah adat berdiri megah. Di setiap sudutnya terdapat pura mungil. Ada juga sejumlah kios kecil yang memang dibuka sejumlah warga di depan rumah mereka. Kios-kios itu menarik, dengan banyak tas etnik nan cantik, baju aneka warna, aksesoris segala rupa, juga botol-botol minuman ringan penghilang dahaga.

Kaki terus melangkah. Pada sebuah undakan tangga di dekat balai desa, ada seorang ibu dengan baskom sedangnya. Isinya langsung menarik bagi lidah dan mata. Ada lumpia dan tahu goreng, dipotong kecil-kecil, disajikan dengan bumbu kacang. Sepuluh ribu saja satu porsi.





Tak ketinggalan, hadirnya sebotol minuman hijau makin menambah penasaran. Namanya Loloh Cemcem, berbahan utama daun kecemcem--sejenis kedondong hutan. Ditambah asam, sedikit cabai, gula aren, daun sirih, dan irisan daging kelapa muda. Unik, hanya kata itu yang bisa menggambarkan rasa dari perpaduan bahan tersebut.

***

Tak terasa, hari semakin sore. Mobil kembali laju, menuju satu lagi destinasi yang sepertinya tak boleh lupa disinggahi. Sebab, tempat ini menawarkan dua indah bagi sepasang mata. Yakni deburan ombak dan panorama senja.

Ya, itulah Tanah Lot. Meski bukan kunjungan yang pertama, selalu ada kekaguman baru yang hadir tiap kali tiba di tempat ini.

Kaki baru saja mengeluh, ia rasa tak sanggup jika harus turun mendekati laut atau bahkan menuju pura. Maka, habiskan sore di tepi rerumputan, rasanya cukup. Memandangi lalu-lalang orang di trotoar, mulai dari wajah asli Indonesia, Eropa, Arab, bahkan Jepang dan Tionghoa.

Bersama Ibu, asyik bertukar cerita sambil memandang sekeliling. Hamparan rerumputan ini juga diduduki banyak keluarga lain, beberapa pasangan, ada pula anak-anak yang berlarian sambil terbangkan layang-layang.
Tiba-tiba, Ibu mengeluarkan bungkusan daun pisang dari tas yang dibawanya. Ah, ya. Ini klepon yang sempat dibeli di depan pintu masuk tadi. Rasanya, tentu seperti klepon biasanya, namun yang ini ada rasa pandannya juga.





Di tengah kenikmatan mengunyah, seorang anak yang melintas tepat di hadapan langsung alihkan perhatian.  Pipinya tembam, putih kemerahan. Rambutnya berkuncir dua dengan poni.
Lincah kaki kecil bersepatunya menghampiri seorang penjual marakas kayu. Wanita paruh baya itu nampak bersemangat menawarkan pada si kecil dengan Bahasa Inggris seadanya. Sementara, si anak menoleh pada ibunya, seakan minta ijin untuk membelinya satu. Sang ibu hanya tersenyum sembari menggelengkan kepalanya pelan. Lalu ia menggandeng si kecil, dan berlalu.

Melihat momen sederhana nan manis itu, senyum tak bisa ditahan. Ia terbit, bersamaan dengan memori yang rekam lagi lucunya anak perempuan yang sepertinya dari Jepang itu.





Senja tiba tanpa terasa, membuat mata terpaku ke satu arah. Matahari bersiap pamit ke peraduan, hadirkan indah tak terelakkan. Berdiri berpegangan pada pagar, mata dibius indahnya cahaya jingga kemerahan. Inilah langit favorit.

***

Ketika gelap mulai merambat, mobil meneruskan lagi perjalanannya. Kini, akan kembali pulang. Kembali mendengar peluit keberangkatan kapal feri melintasi Selat Bali.

Momen ini membawa pikiran kembali pada sajak yang sempat ia rangkaikan saat perjalanan menuju Pelabuhan Ketapang beberapa hari lalu.

Setengah tujuh pagi
Mataku masih dipejam kantuk meski mentari hampir tinggi
Wajahku ditampar angin pagi, kunikmati;
meski dingin makin menjadi


Terimakasih Bali, untuk indahnya budaya dan panorama yang tak pernah gagal memanja mata. Sampai bertemu lagi, segera. Semoga.[]

3, 4, 5 Mei 2022
Adinda RD Kinasih
All photos by me

Posting Komentar

0 Komentar