Malam itu, di kedai langganan yang pendingin udaranya cukup timbulkan gigil. Es kopi masih separuh, sedangkan pai apel di piring sudah diobrak-abrik sang garpu. Perpaduan renyahnya kulit pai, rasa asam apel, krim cokelat, dan sedikit kayu manis menciptakan sebuah rasa yang buat nyaman di lidah.
"Aku juga ingin nongkrong kayak begitu lagi."
Gerakan garpu yang memotong-motong pai terhenti sejenak. Mata beralih pada layar terang, membaca kalimat itu sekali lagi. Ini adalah tanggapan dari seorang teman jauh; yang kini telah membina keluarga dan tengah berbadan dua.
Tertegun untuk waktu cukup lama. Teringat beberapa bulan lalu, diri ini sempat porak-poranda karena kabar kisah cinta yang datang silih berganti. Berita pernikahan yang tiba tak sekali-dua kali. Bahkan, ia sempat tak terima dilangkahi adik sendiri.
Tapi lambat-laun, penerimaan itu telah hadir di hati. Makin sadar, bahwa tiap orang punya masanya tersendiri. Miliki tingkat kesiapannya masing-masing, dan hanya Tuhan yang mengetahuinya.
Bukan soal usia, meski itu juga yang sering dijadikan tolok ukur oleh sebagian besar orang. Waktu yang tepat, itu saja. Dan kapankah ketepatan itu, berbeda-beda bagi setiap orang.
Kembali pada sebaris pesan tadi, sekali lagi menyadarkan diri. Bahwa segala yang ada kini, hanya bisa dijalani. Dinikmati. Entah itu yang sudah berdua, atau yang masih sendiri. Seperti judul yang tertera dalam buku hebat ini.[]
Split Espresso, 26 Juli
Adinda RD Kinasih
0 Komentar