Seni Sendiri






Selasa, pukul lima. Langit kelabu sejak siang, namun sepertinya kali ini pasukan air sedang enggan berperang.


Langkah kaki tertatih menyambut Mbak Ki, yang keluar dari kedai dan langsung menggamit lengan saya. Sampai di dalam, terlontar sapa pelan untuk Mas Ar, yang tengah sibuk dengan tongkat pelnya.

Ada dua alasan yang membuat saya mengunjungi kedai kesayangan ini di hari kerja. Sengaja pamit pulang beberapa menit lebih awal, lalu memesan tumpangan dan menuju ke sini.

Pertama, karena kini kedai kembali libur di hari Minggu. Kedua, karena saya penasaran dengan racikan terbaru kedai ini, yang bernama Split Blend. Perpaduan tiga jenis biji kopi, Arjuno Anaerob, Brazil, dan Congo Kivu.

*

Benar saja. Begitu masuk, saya letakkan tas di bangku dekat meja bar, lalu melangkah ke hadapan meja bar. Tanpa pikir panjang, langsung menjatuhkan pilihan pada Split Blend dan bomboloni. Tapi...

"Ada mac & cheese loh, Mbak. Mau?"

Tawaran Mbak Ki sukses membuat saya mengubah pesanan. Menu satu itu memang selalu jadi favorit saya. Belum cukup, saya pun memesan pula sepotong brownies. Bukan. Ini bukan keinginan saya, tapi murni kemauan Si Perut. Hehehe.

Kembali ke bangku semula. Menunggu beberapa saat sambil mengecek kembali aplikasi transportasi hijau itu dan memberi lima bintang untuk perjalanan barusan. Tak lupa, keluarkan novel bersampul hijau yang belum juga habis dibaca sejak tiga minggu lalu. Sungguh sesuatu yang tidak biasa.

*

Tak lama kemudian, Mbak Ki melangkah ke bangku saya dan menghidangkan dua racikan kopi, lengkap dengan segelas air putih. Ini espresso dan latte, katanya. Kalau tak kuat dengan rasa espresso, bisa dinetralisir dengan air putih.

Saya mengiyakan sambil menahan penasaran. Meski sering ke kedai kopi, espresso dan latte adalah dua yang paling jarang saya pesan. Ah, pernah sih, pesan latte sesekali, tapi yang dingin.
Dan, sore ini, saya dihadapkan dengan espresso, yang hanya separuh cangkir kecil. Sepahit apa, ya? Baiklah, mari dicoba.

Sesaat sebelum mencicip, hidung saya menangkap aroma khas Split Blend ini. Aroma pahitnya cukup kuat, namun menenangkan. Sejenak kemudian, saya pun menghirup espresso itu.

Terbelalak seketika. Pahit! Tapi, pahit itu tak terlalu lama tinggal di lidah. Begitu pahitnya pergi, seruput lagi. Lagi. Enak! Aneh, kenapa saya bisa ketagihan begini? Meski memang masih meneguk air putih setelahnya, tapi rasa espresso dengan Split Blend ini tak se-'menakutkan' yang saya kira. Hehehe.
*






Brownies dan makaroni keju hadir di meja kemudian. Mbak Ki menarik sebuah kursi di hadapan saya dan duduk di sana. Seperti biasa, cerita aneka rupa mulai mengiringi.

Saya bertanya seputar Split Blend, bagaimana bisa tiga jenis kopi itu yang jadi perpaduannya. Rupanya, proses itu berlangsung cukup panjang. Mas Ar dan Mbak Ki sempat beberapa kali mencoba racikan dari sejumlah varian kopi, hingga akhirnya menjatuhkan pilihan pada Arjuno Anaerob, Brazil, dan Congo Kivu. Pilihan yang tepat, saya rasa.

Mata Mbak Ki beralih pada buku bersampul hijau lumut itu. Ia membuka-bukanya, sambil bertanya seputar novel terjemahan itu. Saya tak terlalu bisa menjelaskan, karena memang belum selesai membacanya.

*

Cerita terus mengalir, hingga akhirnya saya mengedarkan pandangan ke sekeliling kedai sejenak.

"Mbak, Mas-Mas yang rambutnya keriting, kacamataan, belum ke sini, ya?" tanya saya heran.
Entahlah, tiba-tiba saya teringat pada salah satu pelanggan tetap kedai ini. Saya tak mengenalnya, hanya sempat bertukar sapa sesekali saat jumpa di kedai. Dia pun kerap muncul di unggahan media sosial kedai.

Mbak Ki tersenyum. "Oh, Mas Dedy, ya? Sudah dua orang, termasuk Mbak, yang nanyain dia hari ini. Kemarin dia ke sini." Ujarnya.

Mbak Ki menambahkan, ada pula salah satu pelanggan lelaki yang menanyakan, apakah Mas Dedy datang ke kedai hari itu. Alasannya, lelaki itu malu datang sendirian, jadi jika ada Mas Dedy, ia akan punya teman ngobrol.

Saya mengernyit. Malu datang sendirian? Kenapa harus malu? Saya sering, bahkan hampir selalu datang sendirian ke tempat ini. Dan, itu tak buruk. Selalu ada yang mengisi kesendirian itu. Buku, lagu yang diputar di kedai, menu kesukaan, bincang dengan diri sendiri, suara-suara pikiran, dan tentunya obrolan dengan Mas Ar dan Mbak Ki yang tak pernah membosankan.

*

Sebab, orang-orang kesayangan tak selamanya bisa menemani kita. Hidup terus berjalan, dan segala perubahan terjadi seiring dengan perjalanan itu. Akhirnya, kita kembali pada sahabat kita sejak lahir: diri sendiri.

Maka, seperti kutipan yang pernah saya baca, terkadang pilihan terbaik adalah menerima.
Bagi yang masih bisa pergi bersama kawan, terimalah dengan riang. Dan untuk yang ke mana pun sendirian, terima dan nikmati saja. It wasn't too bad.

Cari dan temukan bahagiamu, dari dan untuk dirimu sendiri. Sebab, bahagia hanya untuk orang yang berani.[]

Pictures lensed by me & Mas Ardi.

Ps. Terimakasih Split Espresso, Mas Ardiwahyu, dan Mbak Kiki Novitasari. Bersama kalian, sendirian tidak pernah se-menyenangkan ini. Love this pict, by the way!




















Posting Komentar

0 Komentar