Aku, Esai, dan Kamu







Sore jelang senja, bersama kopi, es cokelat, dan kudapan kecil di meja. Kamu berbaju hitam favoritmu, sedang aku di hadapan, kenakan kaus lengan panjang hijau muda dan jilbab abu-abu.


Dari pengeras suara mini di sudut ruangan, terdengar seriosa vocalizing, yang jadi bagian akhir tembang Padi, Mahadewi. Suaramu berusaha menimpali musik itu, pelan berangsur nyaring.

"...jadi, itu masuk golongan apa?" tanyamu. Namun, bukannya menjawab, aku justru merangkum kembali apa yang telah kamu jelaskan beberapa menit lalu.

"Artikel yang memuat pemikiran itu disebut opini..."

"Pemikiran itu persepsi," selamu. Aku mengiyakan, lalu mencoba menyimpulkan sendiri, lagi. Tapi, ucapanmu berhasil menahan kata-kataku.

"Contohnya begini," kamu menggenggam gelas kecil bekas kopi yang telah tandas terminum tadi. Otomatis, aku memerhatikan gelas itu.

"Gelas ini strukturnya salah, kan, menurutmu. Karena kamu ahli dalam bidang gelas," lanjutmu kemudian. Tawa kecilku menyembur spontan mendengarnya. Ahli dalam bidang gelas? Ulangku dalam hati. Bisa saja, kamu.

"...atau seenggaknya tahu. Yang bagus seperti ini," kamu menunjuk gelas sebelahnya yang berisi separuh cokelat dingin milikku.

"Oke, oke." aku mengangguk-angguk. Kamu menghela napas, lalu melanjutkan lagi.

"Jadi, kamu memberikan penawaran, persepsimu. Itu namanya opini. Nah, kalau esai, itu gini. Ini gelas bentuknya ini, gelas ini bentuknya ini. Gitu," katamu sambil menjajarkan kedua gelas tadi. " Jadi...."

"Oooh, kalau esai tuh cuma menjabarkan doang, bukan... nggak ada pendapat pribadi," potongku sok yakin karena merasa sudah mengerti. Kamu tak terkejut dengan kebiasaanku itu; memotong penjelasanmu yang belum usai. Meski nyatanya kamu sering dibuat kesal karenanya.

"Itu salah satunya. Tapi ada juga yang gini, kamu jalan-jalan ke mana, lalu kamu tulis. Nah, itu juga esai. Variasinya kan banyak sekali."

"Oh, catatan perjalanan itu termasuk esai? Berarti secara nggak langsung, aku udah bisa dong, nulis esai?"

"Iya. Esai semua kan, yang di blogmu itu?" balasmu. Aku ber-oh panjang menanggapinya. Hmm, rupanya begitu. Aku memang tak tahu banyak, atau tepatnya sudah lupa tentang teori dan jenis-jenis tulisan nonfiksi. Selama ini, jika ingin menulis, ya menulis saja. Tanpa berpikir itu jenis tulisan apa. Hehehe.

"Sekarang, kalau melihat dari segi gaya bahasa..."
Rupanya penjelasanmu masih berlanjut. Kini diiringi suara Once Mekel dalam Dealova-nya.

"Tapi gaya bahasaku bukan esai, gitu?" kupotong lagi. Kamu menghela napas lagi. Sepertinya berusaha menahan kekesalan. Hihihi.

"Bukan begitu. Gaya bahasa esai itu nggak terpaku pada satu. Kamu pakai bahasa apa? Pakai bahasa Jurnalistik, bisa. Pakai bahasa cerpen, juga oke. Tapi bukan cerpen yang ada alur, setting, itu nggak..."

"Oh, iya-iya," aku berusaha menyimak dan memahami penjabaranmu, meski deru motor lewat di luar dan siulan barista kedai terdengar lebih nyaring dari itu.

"Berarti, gaya bahasa cerpen itu yang 'aku-aku' gitu, ya?"

Kamu mengangguk sembari berkata, "Esai pakai 'aku' juga boleh, tapi itu nggak umum, kan? "

Aku bertanya lagi, "Berarti, esai yang memakai gaya bahasa cerpen, itu yang kayak gimana contohnya?"

"Yang kayak Goenawan Mohamad gitu..." jawabmu. Ah, ya. Aku familiar dengan nama sastrawan senior itu. Beberapa waktu lalu, kamu pernah menunjukkan rubrik Catatan Pinggir beliau di Majalah Tempo.

"...Linda Christanty juga." sambungmu. Aku pun tahu tentang penulis berkacamata nan manis itu. Kamu juga yang memberitahuku tentangnya. Katamu, gaya bahasa penulis perempuan satu ini enak dibaca. Membuat kita serasa masuk ke dalam kisah yang ia tuliskan. Maka, aku bertanya, apa kamu punya buku karya Linda.

"Aku punya bukunya, dua. Di sini nggak ada, ya?" kamu bertanya sembari meneliti rak buku yang ada di kedai. Aku menggeleng. Dan memang tidak ada.

"Pinjem, Kak!" tanpa sadar, nada manja suaraku terdengar lagi. Entahlah, aku juga tak mengerti mengapa aku jadi perajuk begini saat bersamamu.

"Ya, cari di website-nya, coba. Pasti ada. Biar tahu." ujarmu.

"Di situ aja," balasku sambil menunjuk laptop hitam yang terbuka di depanmu. Itu milikku, yang kamu pinjam untuk mengetik sesuatu sejak awal tiba tadi.

"Linda Chris-tanty," kamu mengeja sambil mengetik namanya di kolom pencarian. Dan, ketemu. Kamu pun menghadapkan laptop itu padaku. "Nih. Nggak harus dibaca semua. Sekilas aja."

Sesaat, mataku serius menatap layar. Benar katamu. Tulisan Bu Linda yang tak terlalu panjang ini berhasil menyeretku ikut masuk dalam peristiwa yang ia kisahkan.

Sejenak kemudian, kepalaku mendongak. Mata beralih dari layar, dan menatapmu. Kamu tersenyum sekilas. "Itu tadi, cerpen atau esai?"

Hmm...aku terdiam. Berpikir. Rasanya sulit menamai tulisan tadi. Tiba-tiba, rasa ingin tahuku muncul lagi. "Lho, memangnya orangnya nulis cerpen juga?"

Kamu mengiyakan dengan antusias. "Iya! Puisi juga! Dia kan sastrawan!"

Aku ber-oh panjang lagi, separuh takjub, sembari bertanya dari mana asal beliau. Bangka Belitung, jawabmu.

***

Rekaman suara itu berakhir. Mataku yang memejam sejak awal pun terbuka perlahan. Kurasakan kedua pipiku basah, tepatnya banjir airmata.

Kutatap lagi layar ponsel yang kini memburam di mataku. Rekaman itu tertanggal akhir Nopember, lima tahun lalu. Kuseka airmata, kututup aplikasi perekam suara, dan melepas headphone yang sejak tadi menempel di telinga. Tersentak saat kusadari, headphone hitam itu pun kudapat darimu.

Kuhela napas panjang. Hai, apa kabar, kamu? Jarak sudah terlalu lama membekukan kita, namun segala dialog itu masih tersimpan. Tahukah, diskusi sederhana dan tulisan-tulisanmu itu yang jadi awalku mengenal Esai.

Di mana pun kamu, tolong tetap sehat dan bahagialah. Semoga segala kebaikan yang kamu berikan padaku dan pada banyak orang lain, bisa berbuah kebaikan yang jauh lebih besar untukmu. Bertemu lagi? Itu selalu kusemogakan, meski aku tak pernah punya cukup nyali untuk menyampaikan.[]

Posting Komentar

0 Komentar