CERPEN : Selesai(lah), Renjana





Tribute to Glenn Fredly. Rest in love, Legend!


Malam hampir menuju angka 12. Tapi, kulihat kau tak kunjung menarik selimut dan mematikan lampu. Langkahmu justru agak terseok menuju dapur. Menjerang air di ketel. Menunggu ia berdesau dalam diam.

Lalu perlahan, tanganmu meraih ponsel. Menyentuh layarnya beberapa saat. Tak lama, terdengar sebuah intro lagu, alun petikan gitar akustik nan merdu. Disusul suara sang penyanyi yang tak kalah indah.


Senja merah di ujung sana
Lelaki mengingat bijana
Berselimutkan kabut mega
Restu semesta membawamu
*Bienvenue mon amour
Sang Bijaksana


Ah ya, aku pernah dengar suara ini. Belakangan ini, kamu memang kerap mendengarkan lagu-lagu karya orang ini. Konon, dia seorang musisi lawas negeri ini yang baru saja lelap dalam keabadian.

Kabar itu sangat mengejutkan, membuatmu turut rasakan lara. Hari-harimu jadi sibuk akan pencarian rekam jejaknya di dunia maya. Menontoni semua video wawancara, konser, hingga mendengarkan lagu-lagunya.

Ah, biasalah. Pikirku di awal. Kepergian lelaki hitam manis ini memang menyedihkan banyak orang. Yang kau alami ini pasti hanya euforia sesaat saja. Mungkin cukup dua hari untuk rayakan duka.

Tapi lambat-laun, aku keheranan. Sebab, hingga seminggu berikutnya, hanya lagu itu yang terdengar dari telepon pintarmu.

Ada apa ini? Adakah lagu itu kembali mengingatkanmu akan dia?

*

Kau beranjak dari kursi saat cerek nyaring berbunyi. Perlahan tuangkan air pada cangkir yang telah terisi bubuk kopi. Denting sendok terdengar setelahnya, sibuk menyatukan bubuk kopi dan gula.

Kau kembali duduk di depan meja makan. Secangkir kopi panas itu turut serta. Aromanya khas menusuk hidungku. Berbeda denganmu, aku tak pernah suka pada minuman itu.

Sudah tiga malam ini, di jam yang sama. Kau melakukan hal-hal ini. Menyeduh kopi, lalu mengambil sekerat roti tawar dan membalurinya dengan mentega. Kemudian, kau akan membuka jendela lebar yang terletak di samping meja makan.

*

Ekspresi itu masih sama. Wajahmu sendu. Tatapan matamu jauh keluar jendela, yang suguhkan panorama langit sehitam jelaga. Sembari menggumamkan nada tembang itu.

Perlahan kudekati engkau. Tak kusangka, pelan suaraku bisa mengejutkanmu begitu rupa. Sampai-sampai, ponsel di meja hampir jatuh.

"Ah, kamu bikin kaget aja!" serumu sedikit kesal, namun kemudian air mukamu berubah sendu lagi.

Kupandangi benda persegi panjang yang masih memutar gita serupa. Ingin kusenggol saja benda canggih itu, biar dia jatuh dan hancur. Agar lagu itu berhenti sekalian. Lama-lama aku muak juga. Tak tahan melihatmu murung terus begini.

*

"Aku kangen dia..."

Tiba-tiba kau bersuara. Aku yang sudah nyaris tertidur, sontak membuka mata lebar-lebar. Akhirnya kau bicara juga. Rangkai lirik yang sama masih mengalun, tapi sekarang bait ini membuatku tertegun.

Teras maja di atas bukit
Merebak wangi kaledonia
Paris van Java jadi nirwana
Menjadi saksi tentang kita
Bienvenue mon amour
Sang Bijaksana


Paris van Java. Kota itukah yang sedang kau rindui? Ah, bukan. Kangenmu pasti buat seorang pemuda gondrong sebahu itu kan?

*

Aku masih ingat betul, datangnya pemuda itu satu windu yang lalu. Kau menyambutnya dengan penuh senyum, dua tanganmu merentang beri pelukan. Namun, wajahmu berubah muram saat lelaki itu bilang akan pergi menuju kota itu.

Kau bertanya kapan dia kembali. Dia bilang, beri waktu 30 hari. Dia akan datang dan beri kejutan. Sejak saat itu, tidurmu tak tenang. Terlebih saat lelaki itu tak kunjung pulang. Pejam matamu makin jarang. Dini hari jadi kawanmu mengenang segala janjinya. Sambil bersimbah airmata.

Esok pagi, genap delapan tahun sudah. Tapi kabar tentang lelaki itu lenyap, buatmu bagai hilang arah.
Ditambah lagi kabar berpulangnya sang legenda, membuat sedihmu makin terasa.

*

Kokok ayam terdengar sayup-sayup di kejauhan. Matamu yang masih terbuka lebar memandangi deret angka pada jam di dinding.

"Hmm.. sudah jam dua ternyata..." gumammu seraya menguap sejenak.

Aku terkejut. Ah, pantas saja aku ngantuk sekali. Kulihat dirimu sekali lagi, sepertinya kau memang masih betah terjaga. Ya sudah, terserah kau sajalah. Silakan menanti lelakimu yang tak jelas itu. Aku mau tidur.

*

Tapi, lagi-lagi lelapku terganggu. Ada isak, yang kutahu itu milikmu. Kenapa sekarang kau malah menangis? Aku kesal, tapi juga tak tega melihatmu begini. Perlahan, kutarik-tarik bajumu. Kau tersadar. Tangismu makin kencang. Lalu merengkuhku dalam pelukan.

"Maafkan aku, ya. Aku tahu, kamu pasti jengkel melihatku begini. Tapi aku benar-benar kangen dia. Aku nggak tahu kenapa dia tetap nggak bisa dihubungi. Padahal harusnya hari ini dia kembali. Ini sudah terlalu lama. Aku butuh kejelasan. Apa memang ini kejutan yang ia maksud?"

Aku terpaku dalam pelukanmu. Airmatamu terus jatuh membasahi punggungku. Kemudian, aku baru sadar, lagu yang kau putar sudah berganti.

Kangen kamu
Sungguh hati bicara
Aku kangen kamu meski jauh
Kangen kamu
Pikiranku ke kamu
Rasa ini tak pernah selesai


*

Pagi tiba. Langkahmu terseok menuju pintu depan usai dengar tiga kali ketukan. Rambutmu berantakan. Matamu sembap. Wajahmu kuyu akibat kurang tidur seminggu terakhir ini.

"Ya, ada perlu apa?" tanyamu parau, setengah heran.

Pria berjaket hitam itu tak menjawab, hanya menyodorkan sebentuk kotak cincin. Kau mengernyit. Bersiap menutup pintu sembari berucap maaf. Mungkin lelaki itu salah alamat.

Namun, dia tak kunjung pergi. Wajahnya yang tertutup kacamata hitam dan masker, serta topi merah yang terpasang di kepalanya membuatmu agak bergidik.

*

Aku merasa ada yang tak beres di sini. Segera kudekati pemuda itu, kupasang tampang segarang mungkin. Tapi ia masih tetap berdiri di tempatnya. Bukannya takut, dia malah membuka maskernya.

Aku terbelalak. Engkau tersentak. Terlebih saat pemuda itu meraih kedua tanganmu, membungkusnya dalam genggaman.

"Kanaya, apa kabar? Maaf, aku pergi terlalu lama. Kuharap kamu masih menungguku..."

*

Jalannya kenangan
Sekilas melesatkan angan
Sungguh benar adanya
Cinta lama jangan dilawan
Tak mungkin ku menepis bayangan
Bila memang semua datangnya begini...



Tembang itu kembali mengalun, seiring derai airmatamu yang tak kunjung berhenti sejak tadi. Lelaki itu, Kalandra, masih erat mendekapmu di dadanya. Tak dihiraukannya jaket yang makin basah.

Delapan tahun lalu, cinta pertamamu itu datang ke sini. Di luar dugaanmu, ternyata ia datang untuk mengucap selamat tinggal.

Entah apa yang membuatmu begitu yakin dan teguh menunggunya kembali. Padahal, sepeninggalnya, ada cukup banyak pria lain yang coba mencuri hatimu. Tapi kau tetap bergeming. Hanya satu nama di hatimu. Hanya Kalandra.

*

Sejenak kemudian, kau dan dia sudah duduk di depan meja makan. Menikmati dua cangkir kopi dan roti mentega. Ditemani panorama langit biru dan alunan kidung yang sama.

Di jari manismu pun telah melingkar cincin bermata biru yang indah. Aku bahagia. Tak henti aku berjalan mengitari kalian berdua.

Kalandra tertawa pelan. Dia langsung mengangkat tubuhku saat aku lewat di depannya. Mengelus bulu-bulu lebatku. Ya, bulu. Aku Merkurius, seekor kucing Persia besar berwarna abu-abu.

Akulah yang selama ini bercerita tentang "engkau". Gadis bernama Kanaya yang tak kenal lelah menanti. Tak tahu waktu menunggu. Dan akhirnya, kau buktikan semuanya pagi ini. Bahwa cinta lamamu memang belum selesai.

*

"Merkurius, terimakasih sudah menjaga Kanaya-ku ya..."

Aku mengeong pelan sebagai jawaban. Kanaya pun tersenyum. Menatap lelakinya penuh rindu.

"Bienvenue mon amour, Andra. Terimakasih telah redakan renjanaku."[]

17 April 2020

Inspired by 2 songs of Glenn Fredly.
*sambut cintaku

Listen Selesai (Album: Romansa ke Masa Depan - 2019) here.
Listen Renjana (Album: Luka, Cinta & Merdeka - 2012) here.


Keterangan Foto: Langit senja di Kafe Utara, Dago Pakar, Bandung. 16 Januari 2020. Lensed by Almira Rahma.


loading...

Posting Komentar

0 Komentar