Temu yang "Salah" di Waktu yang Tepat

Jika dalam salah satu lagunya Bung pernah menyenandungkan kalimat "Kita adalah rasa yang tepat di waktu yang salah", judul kali ini terbalik.

Mengapa saya katakan ini adalah sebuah temu yang "salah"?

Catatan ini merupakan "longer version" dari catatan kemarin yang berjudul Hatur Nuhun, Surakarta! Jika ada yang belum sempat menengok ceritanya, silakan buka di sini.

***

Sejak Bung menginformasikan jadwal roadshow Arah Langkah, tanggal yang paling saya ingat adalah 26 Mei. Karena lokasi roadshow-nya di Malang, tepatnya di Gramedia Matos.

Sempat terpikir dan berharap bisa berangkat ke sana, namun waktu belum mengijinkan. Justru Ana Fitriani yang berkesempatan menuju ke sana, mengikuti acara talkshow hingga usai, sampai berfoto bersama Bung.

***

Kemudian, Ayah ada agenda ke Solo untuk sejumlah urusan. Saya pun diajak pula. Saya setuju, sekalian refreshing.

Dua hari jelang keberangkatan ke Solo, tiba-tiba saya ingat bahwa Bung juga akan roadshow ke sana pada tanggal 2 Juni. Harapan untuk dapat hadir berpendar lagi dalam benak.

Meski kemudian meredup, karena Ayah bilang, akan langsung pulang ke Blitar setelah urusannya selesai. Itu berarti pulangnya hari Sabtu. Ah, baiklah. Mungkin kali ini bukan waktunya bertemu Bung.

***

Saya berangkat ke Solo hari Jumat, setelah sahur. Meski sudah pesimis, saya tetap membawa buku Arah Langkah. Tadinya akan mengajak Catatan Juang dan Garis Waktu juga, tapi tidak jadi. Bagaimana jika sudah telanjur membawa tiga buku, tapi nanti benar-benar gagal bertemu Bung? Saya belum siap kecewa.

Sampai di Solo pukul sepuluh pagi, kami langsung menuju hotel di kawasan Tegalharjo. Suara-suara berharap dapat bertemu Bung masih menggaung di benak, meski ragu yang mengikutinya pun makin kuat.

***

Hingga malam, suara pikiran saya masih sama. Meski sudah berusaha dilipur dengan Markobar 8 rasa, sate kere, dan kacang mete. Hehehe.

Baiklah. Kita lihat saja besok. Pasrah saja.

***

Pukul dua siang. Saya masih berada di mobil yang terparkir, berkawan bunyi radio dan buku Arah Langkah di pangkuan. Saya tengah menunggu Ayah menyelesaikan urusannya.

Pagi tadi, Ayah berkata lagi, se-selesainya urusan Ayah kami langsung pulang ke Blitar. Yaaa...baiklah. Sepertinya kali ini memang bukan saat yang tepat untuk bertemu Bung. Urusan Ayah akan usai sekitar setengah jam lagi.

***

Tapi rupanya, Solo tak ingin saya pergi secepat itu.

Pukul empat kurang limabelas. Mobil yang dikemudikan Ayah berhenti pada parkiran sebuah hotel di Jalan Slamet Riyadi. Ya, Ayah menerima saran saya dan Adik untuk menginap sehari lagi.

Memasuki kamar paling ujung di lantai satu, resah makin melingkupi benak saya. Ada kebimbangan. Sebaiknya saya pergi atau tidak, ya?

"Din, ayo cepet berangkat kalau mau datang! Mumpung masih jam empat!"

Ucapan Ibu seketika membangkitkan semangat saya. Segera saya berpamitan pada beliau. Ibu memang sudah saya beritahu tentang roadshow Arah Langkah hari ini.

***

Saat akan memesan ojek, tiba-tiba aplikasi di ponsel saya error. Aarrgh...ada apa lagi ini? Tolonglah, waktunya sudah mepet!

Untung saja Adik keluar kamar. Segera saya meminta tolong padanya untuk memesankan ojek lewat ponselnya. Namun rupanya, driver yang sedang dalam perjalanan itu mengabari bahwa bannya bocor. Terpaksa saya membatalkan pesanan.

Syukurlah, proses pemesanan kedua tak memakan waktu lama. Segera saya naik ke boncengan.

***

"Mbak mau ke Solo Grand Mall ini?" driver ojek memastikan destinasi. Saya mengiyakan.

"Iya, Mas. Pas di Gramedia-nya, ya. Kalau bisa langsung turun di depan Gramedia." kata saya cepat.

"Lho, memangnya di Solo Grand Mall ada Gramedia ya Mbak? Kalau Gramedia Jalan Slamet Riyadi, itu di pinggir jalan, Mbak. Bukan di mall."

Jawaban lelaki berjaket hijau ini sontak mengherankan saya. Oh, begitukah? Hahaha, rupanya saya sok tahu. Segera saya memperjelas tempat tujuan. Gramedia, bukan Solo Grand Mall.

***

Motor berhenti di depan pagar Gramedia. Segera saya turun dan membayar. Menghampiri satpam dengan setengah deg-degan, saya menanyakan perihal acara talkshow Arah Langkah. Dia menyuruh saya langsung masuk saja.

Memasuki sebuah ruang mirip aula, dan berlantai tanah, langkah tertatih saya langsung jadi pusat perhatian. Sejumlah kelompok orang memandang setengah keheranan.

Inginnya meluangkan waktu menerjemah arti tatapan orang-orang itu, namun kaki saya mendadak protes. Nyeri yang muncul adalah pertanda ia kelelahan. Segera saya mengambil tempat di salah satu sudut yang dihampari karpet hijau muda.

***

Lega langsung terasa saat itu juga. Saya pun menoleh, dan baru sadar jika ada seorang gadis dan pemuda di samping saya.

Melempar senyum sejenak, saya iseng menanyakan acara talkshow itu pada mereka. Jawaban sang gadis menerbitkan kecewa di benak saya. Ia bilang, talkshow sudah selesai sejak jam empat tadi.

Kekecewaan makin menyesaki benak, saat ia berkata sudah tak bisa registrasi lagi. Waktu registrasi adalah pukul satu siang.

Ah, andai saja siang tadi kenekatan saya muncul lebih awal...

***

Kebiasaan buruk muncul. Wajah saya tak bisa bohong jika ada sesuatu yang tak mengenakkan. Dengan wajah kusut--perpaduan antara lelah, sedih, dan kecewa, saya masih memaksakan diri tertawa.

Sembari menunjukkan buku Arah Langkah, saya pun berkisah sedikit dari mana asal saya dan bagaimana bisa sampai di sini. Mereka berdua cukup kaget, apalagi saat tahu saya dari Blitar.

***

Sesaat, saya memandang sekeliling. Di sebelah, ada ruangan lain yang lebih riuh. Suara-suara menggema terdengar. Wah, apakah Bung masih ada di sana? Tapi jelas, saya tak bisa masuk. Saya tidak ikut registrasi, jadi tak ada nomor antrean yang tertempel di buku.

Tiba-tiba, muncul tanya dalam hati saya. Apakah seusai acara nanti Bung akan keluar lewat sini? Ah, ya mungkin saja! Pikiran saya mulai melayang ke mana-mana. Nanti jika Bung keluar, saya akan segera mendekat dan meminta foto bareng. Ya, begitu! Semoga semesta mengijinkan.

***

Namun, mendadak saya dibuat speechless oleh pemuda di samping saya. Seolah terhipnotis, saya menerima buku Arah Langkah miliknya yang telah tertempeli nomor antrean. Eh, tunggu. Tapi apa tadi dia bilang?

Katanya, saya masuk saja menggunakan buku ini. Kebetulan, nomor antrean ini belum dipanggil. Nanti, saya tinggal bilang saja pada Bung bahwa ada buku yang lupa belum ditandatangani.

Apa? Tidak! Tidak bisa begini. Jika saya yang masuk ke sana, berarti Mas ini tidak akan bisa berfoto bersama Bung. Tidak. Dia pasti sudah menunggu lama untuk mendapat kesempatan ini. Saya tak boleh mengambilnya begitu saja, meski sebenarnya saya mau.

Segera, saya mengembalikan buku miliknya. Tapi dia tetap meminta saya untuk masuk ke sana dan bertemu Bung. Gadis itu pun ingin mengantar saya masuk.

***

Ya Tuhan, skenario apa ini? Duapuluh menit yang lalu, Engkau mempertemukan saya dengan dua orang ini. Lalu berbincang alakadar sebentar. Tapi mengapa mereka bisa sebaik ini? Apakah ini memang sudah Kau atur sebelumnya?

Gadis itu menggamit tangan kiri saya. Kami melangkah ke ruangan sebelah. Masih cukup ramai di sana. Mungkin sekitar puluhan orang yang tengah menunggu giliran.

Bertepatan dengan itu, pembawa acara menyebut nomor antrean 181 hingga 200 yang dipersilakan masuk. Gadis itu mempercepat langkah sekaligus melantangkan suaranya. Semua orang yang bergerombol di depan panggung sontak memberi jalan.

***

Tibalah kami di depan panggung. Dan saya makin kehilangan kata-kata. Di hadapan saya ada Fiersa Besari. Benar-benar Fiersa Besari. Ia tengah sibuk menandatangani beberapa eksemplar Arah Langkah, sembari menjawab sejumlah pertanyaan dari peserta.

Hey, tapi ada apa lagi dengan kaki saya? Tiba-tiba ia menghantam karpet yang tergulung. Ya, saya tersandung dan jatuh. Bung Fier langsung mengarahkan pandangan pada saya.

"Eh, hati-hati, Mbak! Ya ampun!" begitu serunya. Untunglah saya bisa segera bangun. Terjatuh di depan Bung rasanya cukup memalukan. Hahaha...

***

Serta-merta, seorang wanita yang mungkin pembawa acaranya, meminta saya duduk di tepi panggung. Saya terpaku sesaat. Kalau saya duduk di situ berarti... di samping Bung? Wah, apakah ini mimpi?

Bukan. Ini memang bukan mimpi. Tapi tak pernah sekali pun terlintas dalam benak saya, akan bisa melihat Bung dalam jarak sedekat ini.

Seketika, suara-suara pikiran saya bersahutan. Menyuruh saya mengatakan banyak hal pada Bung.

Bertanya, apakah Juang Astrajingga itu adalah Bung sendiri. Selamat atas akan diangkatnya Garis Waktu ke layar lebar. Saya sudah nonton film pendeknya Eiger Adventure, dan akting Bung dan Ibunda bagus di sana. Saya paling suka lagu Rumah, Juara Kedua, dan Hingga Napas Ini Habis. Saya....

***

"Bung, Bung. Ini."

Lamunan saya buyar. Saya lihat, pembawa acara itu memanggil Bung sambil menunjuk saya. Mungkin mengisyaratkan jika sudah tiba giliran saya untuk bersalam-sapa dengannya.

Seketika, Bung menoleh pada saya dan melempar senyum. Dan hal sederhana itu berhasil membuat saya blank. Daftar perkataan yang tadi sempat terpikirkan mendadak lenyap. Saya tak tahu harus bilang apa.

***

Maka, saya hanya bisa balik tersenyum. Dan memberanikan diri bersalaman dengannya. Lalu memulai percakapan.

"Bung, ini tolong ditandatangani ya. Ini satunya punya teman yang nitip."

"Siap!" jawab Bung ringan.

Sembari menanti Bung membubuhkan tandatangan, saya berkata lagi. "Bung, kapan main ke Blitar? Ada salam dari Komunitas Menulis Blitar."

Kali ini Bung sedikit terbelalak. "Wah, Blitar? Kamu dari sana? Sudah lama saya pengin main ke Blitar. Sejarahnya bagus! Oh ya, kamu namanya siapa?"

Saya mengiyakan dan menyebut nama saya sambil tersenyum.

"Terus berkarya yaa untuk Komunitasnya. Ngomong-omong mana nih bukunya? Kok saya nggak dibawain? Padahal saya mau minta tandatangan."

Bung separuh berkelakar sembari tertawa. Saya bilang, buku itu tak terbawa. Lalu ikut tertawa juga. Setelahnya ada sesal yang memberati diri. Harusnya saya bawakan Mengakrabi Sunyi untuk Bung.

***

Obrolan singkat itu ditutup dengan berfoto berdua. Saya dan Bung kompak melempar senyum ke arah lensa, yang kemudian diabadikan salah satu peserta.

Setelahnya, saya menyalami Bung sambil mengucap terimakasih. Namun, bukannya beranjak, saya malah masih duduk di tempat yang sama. Masih tak percaya dengan apa yang terjadi hari ini.

"Sudah, kan Mbak?"

Teguran Bung menyadarkan saya. Segera saya melangkah keluar setelah mengucap terimakasih pada Bung.

***

Di pintu keluar, saya bertemu Mbak dan Mas baik hati tadi. Mereka bernama Lisa dan Kevin. Usai menyerahkan buku Kevin, saya pamit.

Dalam perjalanan pulang ke hotel, hati saya terasa campur aduk. Masih tak sanggup mempercayai ini semua. Segalanya terjadi begitu cepat dan di luar ekspektasi saya.

Selama ini, saya sudah cukup puas menyaksikan Bung di YouTube atau Instagram. Tapi hari ini saya dapat melihat sekaligus ngobrol langsung dengannya.

***

Lalu, mengapa saya sebut ini adalah "temu yang salah di waktu yang tepat"?

Ini temu yang "salah", karena saya tak mempersiapkan apa-apa. Buku Bung saja tak semuanya yang saya bawa. Apalagi untuk membuat daftar pertanyaan. Saya tak terpikir sejauh itu.

Namun, mungkin benar, ini waktu yang tepat. Mungkin, jika saya mempersiapkan semuanya, pertemuan ini takkan terjadi. Mungkin memang ada beberapa hal yang tak perlu direncanakan agar menjadi indah. Biar Semesta yang mengambil perannya.

Dan itu terbukti hari ini.

***

Terimakasih Semesta. Terimakasih Surakarta. Terimakasih Bung Fiersa. Terimakasih Mbak Lisa dan Mas Kevin. Terimakasih untuk diri ini yang tak menyerah secepat itu. Terimakasih telah berani nekat.

Saya makin percaya, setiap orang memiliki 'waktu ter-tepat'nya masing-masing. Untuk hal apa pun. So, keep believing on that![]

5 Juni 2018
Adinda RD Kinasih

Posting Komentar

0 Komentar