Sudah lama saya tidak membahas Afgan; entah itu dalam tulisan di blog atau sekadar status di media sosial. Saya pun kini jarang mendengarkan lagu-lagunya. Tapi saya belum berhenti menyukai karya-karyanya, boleh dikatakan belum berhenti menjadi Afganisme.
Saya yang dulu adalah yang selalu meng-update info terbaru, mulai dari jadwal manggung hingga perkembangan bermusik dan kehidupan pribadi. Tak hanya meng-update, tak jarang saya juga ikut berkomentar tentang aksi panggung, lagu, dan partner duet.
Memasuki tahun 2015 sampai sekarang, saya sudah jarang mengikuti berita tentang Afgan. Meski begitu, suasana kamar saya masih sama. Di dinding, masih ada poster besar Afgan bonus dari Tabloid Gaul yang telah terpasang sejak tahun 2009. Di belakang pintu kamar, ada poster mini Afgan bonus dari Majalah Story edisi 2011. Di pintu lemari, masih ada sejumlah potongan berita Afgan dari koran yang tertempel rapi. Deretan kaset albumnya pun masih ada, mulai dari Confession No. 1, The One, L1VE To LOVE, hingga S|DES.
Namun, apa yang terjadi Sabtu malam lalu, rasanya "mengembalikan" saya ke masa awal-awal ngefans Afgan. Maka, saya tuliskan catatan ini. Rasanya rindu juga.
***
Sabtu malam lalu, pagelaran musik bergengsi Prambanan Jazz Festival diselenggarakan. Saya sendiri malah tak tahu jika ada acara itu. Semua berawal dari sebuah status Facebook teman sesama Afganisme yang tak sengaja terbaca di beranda.
Dalam status yang di-repost dari Instagram pribadi Afgan, @afgansyah.reza, rupanya ada yang tak beres dengan acara musik yang biasanya juga dihadiri musisi internasional itu.
Afgan seharusnya dijadwalkan tampil pukul 8 malam, membawakan 6 lagu. Tapi ternyata, molor hingga jam 10 malam. Pada jam yang sama, ada seorang artis internasional yang juga akan tampil.
Mengejutkan! Serta-merta, panitia meminta Afgan dan band-nya, Gandarianz untuk membatalkan penampilan. Tentu saja Afgan menolak, karena ia tahu ada banyak Afganisme yang menantikan kehadirannya di sana.
Maka, Afgan dan Gandarianz tetap naik panggung, meski dalam kondisi sound yang telah dimatikan. Untunglah salah satu tim Afgan bisa mengupayakan mic tetap menyala.
***
Namun, memasuki pertengahan lagu keempat, bukan hanya sound yang dimatikan, tapi lampu panggung juga! Tentu saja ini sangat mengecewakan Afgan dan band-nya.
Kemudian, sebuah momen mengharukan terjadi. Tiba-tiba, ratusan (atau mungkin ribuan) flashlight ponsel menyala. Para penonton tak mau Afgan meninggalkan panggung sebelum menyelesaikan nyanyiannya. Maka, mereka kompak menyalakan flashlight ponsel sebagai pengganti lampu panggung yang telah dipadamkan.
***
Mungkin ada banyak orang yang berpikir, apa gunanya membahas hal se-sepele ini. Tapi ada satu yang mendorong saya menuliskan catatan ini.
Rasa haru yang menyeruak di dada saat saya melihat foto itu. Foto yang menggambarkan Afgan-berdiri setengah menoleh ke belakang, tersenyum, dihujani cahaya flashlight para penonton di hadapannya.
Hanya satu kata yang bisa saya tuliskan sebagai penutup catatan ini.
BANGGA. Bangga pada Afgan dan Gandarianz atas totalitas yang tak main-main. Juga bangga pada para penonton, atas rasa empati dan apresiasi yang besar.
Dan bagi saya, manggung di tengah cahaya flashlight ponsel lebih keren dibandingkan lampu panggung semegah apa pun.
Thanks a lot, Afgan, for keep giving best perform.
21 Agustus 2017
Adinda RD Kinasih
Sumber gambar : instagram.com/afgansyah.reza
0 Komentar