Secuil Cerita dalam Perayaan HPI (2)

Saya tiba di Sanggar Budaya Istana Gebang pukul 19.30, terlambat tigapuluh menit dari yang dijadwalkan. Namun, ada yang aneh dengan langkah saya. Kenapa jadi sempoyongan begini? Meski biasanya saya memang berjalan jinjit, tapi kali ini berbeda.

Kepala saya mulai memberat. Tapi, saya melukis senyum saat melihat Mbak Flo dan Kak Fahri di halaman.

"Lho, ngapain kamu ke sini?" Kak Fahri bertanya dengan heran. "Acaranya sudah selesai." Lanjutnya, membuat saya sedikit terbelalak. Saya mengalihkan pandang pada Mbak Flo, dan ia membenarkan. Saya jadi kaget betulan.

Tapi kemudian, mereka berdua kompak tertawa. Wah, rupanya saya dikerjai. Saya sedikit menggerutu kesal bercampur tawa, sambil tetap berusaha menahan denyut yang makin menjadi di kepala.

Kak Fahri pun memberitahu saya jika dia yang menjadi MC (dadakan) malam ini. Acara bedah buku sesi dua dan tiga tadi sore pun batal terlaksana, karena tak ada penonton.

Ah, sayang sekali. Tapi ini mungkin karena perencanaan acara dan promosi yang terlalu mepet. Semoga event selanjutnya bisa dipersiapkan dengan lebih baik lagi.

***

Masuk ke dalam sanggar, saya bertemu Ryan, Irsyad, Alfa, Mbak Nunung, Bu Puput, Pak W, Mbak Yayuk, Nezli, dan Radhitya Alam.

Badan saya makin tak keruan. Dengan terbata, saya meminta segelas minuman hangat. Mbak Nunung segera mengambilkan kopi, tapi urung saya minum karena masih panas. Tangan dan kaki pun rasanya seperti kesemutan dan jadi sulit digerakkan.

Saya pun meminjam jaket milik Bu Puput, tapi tak jadi dipakai juga. Saya berpindah duduk di dekat panggung, sambil bersandar di tembok. Sepiring gorengan disodorkan pada saya, tapi rasanya sulit untuk melahap apapun saat ini.

Kembalinya Nezli yang membawa segelas teh panas, langsung saya sambut dan seruput sedikit demi sedikit. Saya sempat heran saat melihat Mbak Yayuk tak ada di samping saya.

Tak lama kemudian, ia kembali dengan dua bungkus obat masuk angin cair. Segera saya tandaskan satu. Ya Allaah, terimakasih banyak. Maaf jika sempat membuat panik.

***

Acara dibuka dengan sambutan Pak W, sekaligus pembacaan puisi. Kemudian disambung penampilan Balilatar, yang menyuguhkan aksi teatrikal di sela membacakan puisi. Lalu disambung dengan Radhitya Alam.

Setelah itu, saya tak ingat lagi urutannya. Saya hanya bisa mengingat nama-nama penampil, seperti Cak Pur dan sang istri, Bu Ardi Susanti dan putrinya, Khabib Ajiwidodo dari Paguyuban Srengenge, Andra Blue, Wisnu dari Balilatar, juga Pak Tampan yang menyuguhkan 'dongeng' kocak.
Tak lupa, Sanggar Lagung asuhan Bu Puput juga tampil, membacakan puisi yang disambung dengan lagu Surat Cinta untuk Starla.

Tak ketinggalan, peforma apik Anggriawan dan Rahmanto Adi.
Juga penampilan para pelajar; diantaranya Maysa Wima dari SMPN 2, Ghanio dari SMKN 3, dan El Dewa dari SMAN 1 Blitar. Puisi yang dibacakan Dewa adalah karya Imara Raida, yang cerpennya juga masuk dalam antologi Jejak-Jejak Kota Kecil.

***

Kemudian, ganti sepasang mata saya yang memberat. Kepala pun saya sandarkan ke tembok, sambil menikmati sajian apik dari para penyair.

Saya tersadar saat Pak Budi datang dan mengambil tempat di samping saya. Ah, rupanya saya tertidur, hehehe. Saya jadi melewatkan penampilan Alfa Anisa.

***

Jam setengah sepuluh malam. Dalam gelap, mata saya menangkap gestur Kak Fahri yang berjalan memutar dan menghampiri saya.

"Hei. Anak FLP yang belum tampil tinggal kamu. Kamu tampil nggak?"

Setengah kaget saya mendengar pertanyaan itu. Tampil? Nama saya memang tertera dalam rundown acara yang dibuat Bu Puput sebagai salah satu pengisi acara. Tapi saya tak terlalu yakin dengan kondisi badan saya saat ini. Saya juga tak pede dengan puisi yang iseng saya buat tiga hari lalu. Naskah puisi pendek itu pun masih berada di Note ponsel, dan belum saya salin ke kertas. Bagaimana ini?

Bukannya mengiyakan atau menolak, saya malah balik bertanya apakah Kak Fahri akan tampil juga. Setengah tertawa, ia berkata tak jadi tampil karena sudah didapuk jadi MC.

Saya diam lagi. Setengah mendesak, Kak Fahri menanyakan hal yang sama. Saya menghela napas, dan mengiyakan. Kak Fahri segera beranjak ke belakang panggung.

***

Beberapa saat kemudian, Kak Fahri menyebut nama saya sebagai penampil berikutnya. Setengah gemetar saya melangkah ke depan. Kali ini gemetarnya bukan karena masuk angin, tapi memang deg-degan, hehehe.

Saya duduk, dan mulai membacakan puisi bertajuk Pagi dan Senja itu. Dengan rasa deg-degan, mikrofon di tangan kiri, dan ponsel di tangan kanan, saya merasa penampilan perdana baca puisi ini cukup kacau. Hehehe.

Terlebih saat saya sadar, seharusnya saya duduk agak mundur sedikit agar tak membelakangi cahaya. Haaah...benar-benar tanpa persiapan.

Tapi tetap, terimakasih atas kesempatan yang telah diberikan. Maafkan jika penampilan saya memalukan. Hehehe.

***

Setelah saya, Pak Budiyono pun tak ingin ketinggalan. Beliau membacakan salah satu puisi WS Rendra. Usai Pak Budi, Pak Andreas Edison selaku Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Blitar (DKKB) memberikan sambutan. Tak lupa, penampilan kolaborasi Oma Merry, Alfa Anisa, Mbak Nunung, dan Mbak Flo membawakan puisi karya Gus Mus.

Giliran Bu Puput tiba. Hampir seluruh penonton hening mendengarkan puisi yang beliau bacakan. Sang suami, Pak W Haryanto menyambung kemudian, dengan gaya berpuisinya yang khas.

Ryan Adin menjadi perwakilan FLP terakhir yang tampil dengan membacakan puisi karyanya sendiri. Acara Festival Hari Puisi Indonesia malam ini ditutup dengan penampilan Balilatar. Seluruh penampil dan tamu undangan juga berfoto bersama.

***

Terimakasih Bu Puput, Pak W, dan teman-teman untuk kesempatan yang diberikan pada saya. Semoga di acara selanjutnya saya bisa mempersiapkan diri dan tampil dengan lebih baik lagi.[]

30 Juli 2017
Adinda RD Kinasih

Posting Komentar

0 Komentar