Berkenalan dengan Harry Potter di Seri Ketujuh

Identitas Buku

Judul: Harry Potter and The Deathly Hallows (Harry Potter dan Relikui Kematian)
Pengarang: J.K. Rowling
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2008 (Terjemahan Indonesia)
Tebal Buku: 999 halaman

Siapa yang tak kenal Harry Potter. Sosok lelaki berkacamata, dengan bekas luka di dahi, dan tongkat sihir yang selalu tergenggam di tangannya ini diciptakan oleh seorang penulis asal Inggris, J.K. Rowling.

Kisah Harry Potter seri pertama yang bertajuk Harry Potter and The Philosopher’s Stone terbit pertama kali di Inggris pada 1997. Dilanjutkan dengan Harry Potter and The Chamber of Secrets, Harry Potter and The Prisoner of Azkaban, dan Harry Potter and The Goblet of Fire, yang terbit pada tahun 1998, 1999, dan 2000.

Tiga seri Harry Potter berikutnya terbit setiap dua tahun. Yakni Harry Potter and The Order of Phoenix yang terbit pada 2003, Harry Potter and The Half-Blood Prince pada 2005, dan Harry Potter and The Deathly Hallows pada 2007.

Sejak awal, saya hanya mengenal Harry Potter lewat film-filmnya yang diputar di televisi. Itu pun sering tak saya tonton habis, karena sebenarnya saya kurang telaten jika harus menyaksikan film layar lebar di televisi. Alasannya satu. Tak sabar menunggu habisnya iklan! Hehehe. Dan saya pun tak memiliki koleksi film Harry Potter di laptop, dan juga tak terpikir untuk meminjam, apalagi membeli buku novelnya.

Entahlah. Mungkin karena saat itu genre fantasi belum terlalu menarik hati saya. Padahal, ada salah satu teman saya, seorang pecinta novel fantasi, yang sempat berkata, “Sekali kamu baca novel fantasi, kamu pasti ketagihan, Din!”
Saya hanya mengiya-iyakan saja, tak terlalu yakin dengan ucapannya.

Semua berawal di 13 November 2016 lalu. Sore itu, sepulang dari Perpustakaan Bung Karno, saya dan beberapa teman dari FLP Blitar mengunjungi sebuah kafe yang terletak di Jalan dr. Sutomo nomor 2. Kafe yang baru beberapa bulan dibuka ini bernama Philokoffie. Nama itu mengingatkan saya pada kumpulan cerpen karya Dewi Lestari, Filosofi Kopi. Kafe ini didirikan oleh Mbak Ratna Haryani, seorang alumni Universitas Airlangga, bersama beberapa temannya. Mereka juga menjadi barista di kafe ini.

Sejak awal memasuki bangunan kafe yang lebih mirip rumah ini, saya langsung jatuh cinta. Konsep tempat ini—perpaduan antara kafe dan perpustakaan, dua hal yang menjadi favorit saya. Apalagi, di sinilah saya bisa mencicipi beragam jenis kopi yang selama ini hanya pernah saya baca dan dengar. Diantaranya, espresso, cappuccino, latte, Americano, dan beberapa yang lainnya.

Di sini pulalah saya menemukannya. Novel Harry Potter seri ketujuh, Harry Potter and The Deathly Hallows. Buku ber-hard cover oranye dengan Harry Potter berjubah coklat ini berhasil mengembalikan rasa penasaran saya akan genre fantasi, juga ingin membuktikan kata-kata teman saya saat itu. Benarkah bahwa novel terjemahan, khususnya yang bertema fantasi, akan membuat saya ketagihan?
Dan Harry Potter benar-benar berada dalam ransel merah saya setelah itu. Bersiap mengubah seisi kamar saya menjadi Hogwarts untuk beberapa minggu ke depan.

Kisah Harry Potter and The Deathly Hallows adalah bagian terakhir dari seluruh serial Harry Potter. Seri ketujuh ini mengisahkan Harry yang harus mengemban tugas untuk mencari dan menghancurkan beberapa Horcrux milik Voldemort, setelah Dumbledore meninggal. Selain itu, ia juga harus berjuang melawan kekuatan Voldemort yang ingin mengalahkannya.
Bersama kedua sahabatnya, Ron dan Hermione, juga berkat bantuan beberapa sahabatnya yang lain, Harry berhasil memusnahkan Horcrux-Horcrux itu, dan mengalahkan Voldemort.

Perkenalan saya dengan Harry Potter di seri terakhir kisahnya ini berjalan baik. Dia berhasil membuat saya terhanyut dalam petualangannya yang mendebarkan dan mengerikan. Beberapa manteranya seperti Accio, Expelliarmus, Expecto Patronum, Lumos, bahkan Avada Kedavra, dan beberapa mantera lain menjadi akrab dalam benak saya sekarang.
Selain itu, saya sangat suka penggambaran tempat, waktu, juga setiap kejadian, yang diceritakan dengan sangat detail. Membuat saya jadi membayangkan berada di tempat dan mengalami kejadian-kejadian itu bersama Harry Potter.

Ternyata benar kata teman saya, novel terjemahan, apalagi yang bertema fantasi berhasil membuat saya ketagihan. Harry Potter and The Deathly Hallows pun kembali ke Philokoffie dua minggu kemudian.

Hingga saat ini, saya masih penasaran dengan seri pertama hingga keenamnya, yang belum juga saya baca. Untuk meminjamnya di perpustakaan, kendala saya masih pada kartu anggota yang masih belum sempat terurus. Sementara, di toko buku pun, keenam seri novel ini belum berhasil saya temukan.
Inginnya saya meminjam tongkat sihir Harry, dan mengucapkan, “Accio, Harry Potter satu sampai enam!” Hahaha…

Semoga suatu saat nanti saya bisa mendapatkan ketujuh seri kisah Harry Potter ini. Untuk saat ini, penasaran saya sedikit terobati dengan koleksi filmnya. Meski bagi saya, membaca buku masih jauh lebih mengasyikkan ketimbang nonton film. (*)

20 Desember 2016
Adinda RD Kinasih

Posting Komentar

0 Komentar