Lelaki Kecil Bermata Sipit (1)*
Pukul 22.00
Aku membuka penutup gelas karton itu perlahan. Uap panas mengepul, disertai aroma khas kopi hitam. Malam itu, di Kota Malang, pada sebuah restoran cepat saji. Aku duduk menghadap segelas kopi hitam. Minuman yang beberapa menit lalu sangat kuingini, tapi detik ini justru kusesali karena telah memesannya.
Tapi, mau tak mau aku harus meminumnya. Mengingat struk pembayaran dan kembalian atas kopi ini telah tergeletak di meja ini juga. Kuseruput pelan, dan dahiku mengernyit menahan pahit. Kopi ini tetap saja pahit, meski aku sudah menambahkan sebungkus gula. Itu tak cukup. Setidaknya, harus disediakan lima sachet gula untuk memaniskan kopi ini.
“Papa! Ayo mainan di sana!”
Pandanganku teralih ke arah sumber suara khas yang lucu itu. Pemiliknya seorang bocah lelaki berusia sekitar dua tahun, berbaju biru, dan bermata sipit, yang tengah berada dalam gendongan lelaki tigapuluh tahunan. Namun, sang ayah hanya menoleh sekilas ke areal bermain yang terdapat di sudut restoran, membuat anak itu kembali merengek. Sejenak kemudian, kulihat sepasang ayah dan anak itu sedang berjalan ke arah areal bermain sambil bergandengan tangan. Ada tawa girang milik si lelaki kecil yang terdengar, juga senyum sang ayah yang melebar.
Pemandangan sederhana itu tak urung membuatku tersenyum. Segumpal ingatan akan masa kecil turut hadir. Dulu, saat masih meninggali kota ini, aku juga sering menghabiskan akhir pekan atau liburan bersama Ayah untuk pergi berenang di beberapa tempat pemandian di Malang. Ketika sudah berada di kolam, Ayah pasti akan memasukkan wajahnya ke dalam air dan membiarkanku berenang sendirian untuk beberapa saat. Saat aku mulai kebingungan mencari-carinya, tiba-tiba Ayah akan muncul tiba-tiba, membuatku kaget lalu tertawa lepas.
Terkadang, Ayah juga mengajakku ke taman bermain yang banyak terdapat patung hewan dan aneka wahana unik. Jika sudah berada di sana, Ayah dan aku akan menaiki patung singa berdua, atau berfoto dengan gaya jenaka pada setiap wahana yang kami datangi.
Namun, sering pula akhir pekan kami hanya akan habis di rumah. Walaupun di rumah, akhir pekan tetap terasa seru. Biasanya, aku akan membantu ayah memberi makan burung peliharaannya, atau belajar naik sepeda roda tiga, juga nyanyi bersama.
Hingga saat aku tinggal di Blitar—bahkan hingga saat ini, Ayah masih sering mengantarku ke mana pun. Ke sekolah, ke rumah teman, ke kampusku di Malang, juga ke Perpustakaan setiap Ahad. Meski sekarang waktu luang yang kupunya tidak selalu bisa kuhabiskan dengan Ayah, tapi kamu hampir selalu bisa menemukan kami berdua duduk sambil merangkai obrolan, terutama saat ada pertandingan sepakbola yang melibatkan Arema Cronus, juga saat balapan MotoGP. Ya, aku juga jadi memfavoritkan dua acara itu karena Ayah. Kadang kami juga berdiskusi dan menebak-nebak nama aktor dan jalan cerita dalam sebuah film yang kami tonton bersama.
Ini tertulis untuk Ayah. Anggap saja ini sebagai kado ulangtahun yang ke-50 pada Pebruari lalu. Terimakasih Ayah. Maaf jika sampai detik ini aku masih sering merepotkan Ayah. Tolong Ayah jangan terlalu mengkhawatirkan aku, ya. Insya Allah aku akan belajar untuk lebih mandiri lagi. Semoga Ayah panjang umur, juga selalu sehat dan bahagia.
*Tertulis setelah melihat balita lelaki sipit yang entah siapa namanya, di sebuah restoran cepat saji di daerah Sarinah, Malang semalam. Juga terinspirasi dari catatan Veronica Gabriella berjudul “Tentang Pacar Pertamaku” yang terdapat di blognya, Memorabilia. (*)
Lelaki Kecil Bermata Sipit (2)*
Pukul 19.30
Kududuki sofa biru di salah satu sudut toko elektronik. Masih di Malang, yang sejak siang diserang pasukan hujan. Di sekelilingku, orang berlalu-lalang. Ada yang tengah bertanya-jawab tentang sebuah produk, ada pula yang asyik melihat-lihat aneka barang yang dipajang. Tak sedikit pula yang seperti aku, duduk menunggu. Beberapa menit kemudian, bosan mulai menyerangku. Tubuhku juga agak gemetar karena dinginnya pendingin udara yang dipasang di segala penjuru toko.
Tiba-tiba, mataku tertuju pada seorang anak lelaki kecil bermata sipit, berbaju kuning bergaris abu-abu, tengah berlarian ke sana kemari sambil berceloteh riang. Kutaksir, usianya sekitar dua tahun. Di belakangnya, perempuan dengan rambut tergelung tampak agak kewalahan mengikutinya. Beberapa kali perempuan itu memintanya berhenti, tapi si bocah lelaki ini justru seperti tak kenal lelah.
Sebentar kemudian, anak itu menghampiri wanita berkaus merah yang duduk membelakangiku. Sayup-sayup kudengar ucapan wanita itu.
“Kamu jangan lari-larian dong! Jangan jauh-jauh! Nanti kalau hilang gimana?”
Kukernyitkan dahi, merasa nada bicara wanita itu terlalu keras untuk anak sekecil itu. Tapi si anak tak terlalu peduli, malah kembali berlarian sambil melempar senyum lucu pada pengunjung lain yang ada di sekitarnya. Kudengar wanita itu berseru lagi.
“Ami, dijagain ya! Jangan boleh jauh-jauh mainnya!”
Lalu terdengar sahutan “Ya, Bu” pendek yang tergesa dari perempuan dengan rambut tergelung tadi. Kemudian ia buru-buru menyusul langkah gesit anak lelaki itu.
Oh, aku mengerti sekarang. Wanita berkaus merah tadi adalah ibu si bocah kecil, sedangkan perempuan yang rambutnya digelung itu adalah pengasuhnya.
Mataku masih belum lelah mengamati setiap gerak-gerik anak itu. Terkadang aku ikut tertawa kecil saat ia mulai menunjukkan aksi polosnya.
Tak disangka, anak kecil itu menghampiriku. Ia melompat-lompat sambil memasang senyum jenaka yang sama. Tak ayal, aku tertawa melihatnya. Lalu sang pengasuh datang dengan tergopoh-gopoh, meminta anak itu menghentikan aksinya. Tapi si anak malah menyahuti dengan suara imutnya.
“No!” jawabnya pelan, tapi tegas. Aku tersenyum lebih lebar. Dan kulontarkan sebuah tanya padanya.
“Hi, what’s your name?”
Anak itu kini berhenti menggerakkan kakinya. Ia berdiri menatapiku dengan heran. Pengasuhnya tersenyum, membimbing bocah imut itu untuk menjawab. Tapi dia masih tetap pada ekspresi yang sama.
“Namanya Axello, Mbak.” akhirnya pengasuh itu yang memberitahuku.
“Axello, let’s shake hand!” seruku, sambil menyodorkan tangan, mengajaknya bersalaman. Tapi Axello malah tersenyum malu-malu, membuatnya terlihat makin menggemaskan saja. Namun akhirnya tangan mungil itu terulur juga. Aku tertawa kecil menyambutnya.
Iseng, kuarahkan kamera ponsel padanya. Eh, tak disangka, dia langsung memasang gaya sambil memanyunkan bibirnya. Hahaha, ada-ada saja.
Hingga kemudian, wanita berkaus merah tadi memanggil Axello dan pengasuhnya. Rupanya mereka akan pulang. Sebelum lelaki imut itu berlalu, aku nyeletuk.
“Hi, give me five!”
Axello pun menyetujui ajakanku untuk toss bersama. Lalu ia pergi bersama pengasuhnya setelah sempat ber-goodbye denganku.
Sepeninggal balita lelaki lucu itu, aku termenung. Axello mengingatkanku pada sebuah cerpen yang kutulis, tentang seorang anak yang justru lebih akrab dengan pengasuhnya daripada dengan ibunya sendiri. Untung saja Axello punya pengasuh yang sabar dan telaten, dan sepertinya dia adalah tipe anak yang pemberani, cerdas, juga ceria.
Sebentar kemudian, Mama menghampiriku untuk pulang. Kami melangkah bersisian, sambil bertukar cerita. Diam-diam aku bersyukur, karena lahir dari rahim Mama. Sejak lahir hingga sudah sebesar ini, Mama masih selalu ada untukku. Mama pun tetap tak kenal lelah menyemangatiku untuk terus belajar mandiri, percaya diri, dan berani menghadapi hal-hal baru. Sering Mama menegurku saat sifat malasku mulai kambuh.
Seperti Ayah, Mama juga masih sering mengantarku ke manapun sampai sekarang. Kadang ada rasa bersalah yang menghinggapi benakku. Karena sampai saat ini aku masih terus merepotkan Mama.
Ini tertulis untuk Mama. Terimakasih untuk segalanya selama 24 tahun ini, Ma. Terimakasih untuk masih selalu percaya bahwa aku bisa. Terimakasih untuk segala kesempatan yang sudah diberikan untukku bisa mengenal dunia “baru”, dunia yang lebih luas daripada yang selama ini melingkupiku.
Selamat ulangtahun, Ma. Semoga selalu sehat, panjang usia, dan bahagia. Doakan aku selalu, ya Ma…
*Untuk Axello, terimakasih atas segala celoteh polosmu yang lucu itu, Sayang. Semoga duniamu akan selalu ceria, seperti yang kulihat malam itu. (*)
Tertulis sepulangku dari Malang,
28 Juni 2016
2 Komentar
paragrafnya di-justify (rata kanan-kiri) akan jauh lebih rapi :)
BalasHapusanggiputri.com
Iya, terimakasih sarannya, Anggi :)
BalasHapus