Membuka Kembali Enam Tahun Merah Putih (Tentang Gumpalan Rindu yang Terobati)



Tadinya, lembar putih ini ingin kuisi dengan serangkum rindu yang menjelma luka. Banyak orang bilang, rindu adalah rasa paling indah. Ya, indah, tapi tak lama. Ketika rindu itu sudah makin bertumpuk, tanpa segera bisa dikurangi, maka bersiaplah untuk terluka.
Siapa yang bisa tahan akan gelegak rindu yang sudah tak sabar ingin disembukan?

Ya, rindu sedang memberati benakku, membebani hatiku. Beberapa minggu kemarin, ada kecewa yang sejenak datang padaku. Kecewa tersebab janji yang batal, karena tak adanya satu kata sepakat. Hingga akhirnya ia berhasil membuatku berhenti berharap.

Baiklah. Mungkin bukan hari ini, bukan minggu ini, bukan bulan ini, bukan di momen ini. Sepertinya aku harus bersiap menerima gundukan rindu berikutnya, lalu menahannya, hingga tiba saatnya diruntuhkan.

Dan selama itu, berusaha kuhibur diriku, melipur rindu itu dengan cara-cara yang kupikir bisa meredamnya. Tapi ternyata mengusirnya tak semudah yang kukira.
Ah, ayolah… rupanya rindu ini sudah tak sabar ingin segera diluapkan. Tapi kapan? Di waktu yang mana?
#

Dering teleponku memecah kesunyian sore ini. Sebuah nomor tak bernama, dengan suara seorang gadis di seberang mengherankanku. Suara siapa ini? Memoriku tak terlalu baik dalam mengenali suara seseorang, apalagi yang sudah lama tak bertemu.

Tapi baiklah. Kutunggu ia, seperti yang dikatakannya di telepon tadi. Bersama rasa penasaran yang mulai menjalari benakku.
Kali ini, kenangan apa yang akan diurai kembali? Sempat terbersit pada salah satu masa, di mana kenangan itu diciptakan. Kenangan dari masa itukah? Tapi aku sendiri tak terlalu yakin.

Beberapa menit kemudian, kulangkahkan kaki ke ruang depan. Setelah memutar kunci dua kali, kubuka pintu.

Dan… terkaanku benar, ternyata. Sore ini, kutemui lagi wajah-wajah itu, wajah para kawan kecilku. Sahabat Merah Putih.
Senyum melebar di wajahku, bersamaan dengan rasa lega yang menyusup tiba-tiba. Tumpukan rindu yang terhimpit sejak lama, entah sudah pergi ke mana.

Mereka yang datang kali ini hanya empat orang. Setelah bersalaman sembari saling bermaafan, dimulailah semuanya.
Gaduh rangkai cerita yang berpadu dengan canda. Ramai canda yang menyatu dengan tawa.
Ya, mereka yang mengembalikannya, bersama toples-toples makanan ringan sebagai selingan.
Aku sendiri tak banyak menimpali. Hanya tak henti mengukir senyuman. Seperti kurasakan kembali momen Idul Fitri tiga tahun lalu, saat pasukan Sahabat Merah Putih yang datang lebih banyak dari ini.

“Dinda, kamu cerita apaaa, gitu lho. Jangan diem aja!”
Celetukan itu menggemakan tawaku sebentar. Apa perlu aku berkisah juga? Saat semua cerita dan ceria yang kalian bawa sudah lebih dari cukup untuk mengobati rinduku?

Dan, seakan tak pedulikan waktu yang terus berlari, gulungan kenangan terus dibuka, bersama riang tawa yang terdengar merdu di telinga.
Meski akhirnya kenangan-kenangan itu harus rela mengalah pada menit dan detik yang tak henti bergulir.

Akhirnya, meski enggan, aku tetap tersenyum menyambut jabat tangan berbalut kata pamit yang mereka ucapkan. Tapi seperti biasa, sebelum pulang, mari tunjukkan gaya terbaik di depan kamera!
#
Maka, tak ada kata lain yang patut terucap selain terimakasih.

Untuk kalian berempat;

Ulfa Fikria Putri, salam untuk Chizu dan Chika, ya :)
Niko Bagus, aku minta satu kucingnya, yang Persia ya! Boleh kan? :P
Afian Hakim, kenapa tadi nggak jadi foto di depan lemari? Hehehe…
dan Ade Surya Haryono, salam buat skripsinya, moga cepet beres :D

Terimakasih untuk waktu yang telah disisihkan untuk meramaikan rumahku. Maafkan aku kalau terlalu sering bertanya tentang reuni, anjangsana, dan semacamnya. Bukan maksudku mengganggu kepadatan jadwal kalian. Aku hanya rindu mendengar canda tawa kalian.

Dan sore ini, semuanya telah kalian bawa ke rumahku. Maka, terimakasih. Sedikit waktu yang telah kalian luangkan, sama sekali tak bisa dinilai dengan apa pun. Canda dan cerita yang kalian bingkiskan, sudah lebih dari cukup sebagai pengobat rinduku.



Terimakasih…

See you next time, remarkable friends!
Blitar, 20 Juli 2015
Adinda Dara







Posting Komentar

2 Komentar

  1. Mbak dindaaa.. duh, selalu ikut seneng tiap kali baca tulisan mbak. Mengalir tenang di hati*tsaahhh :D
    Minal 'aaidin wal faizin ya Mbak :") maaf lahir bathin ^^

    BalasHapus
  2. Terimakasih sudah membaca, Vinda... Maaf lahir dan batin juga :)

    BalasHapus