Coretan Si Anak Magang (3)



Saya kembali lagi dalam Coretan Si Anak Magang, yang kali ini sudah memasuki sekuel tiga. Hahaha, sekuel, memangnya film? Hehehe…

Coretan ini saya buat di hari Jumat, di mana ada ekstra waktu istirahat selama dua jam. Setelah tiga hari berkutat dengan pengklasifikasian dan pengatalogan yang cukup memusingkan, kali ini saya masuk di bagian Pelayanan. Ada empatbelas jenis Pelayanan di Perpustakaan Proklamator Bung Karno ini, tapi dalam praktik ini saya hanya menjalani empat jenis layanan, yaitu layanan Anak dan Remaja, Referensi, Keanggotaan, dan Museum Koleksi. Dan selama dua hari ini, sejak Kamis kemarin, saya praktik di bagian Anak dan Remaja.
#
Di bagian Anak dan Remaja ini, terdapat banyak sekali buku dengan berbagai jenis, mulai dari novel, komik, majalah, tabloid, buku cerita anak-anak, ensiklopedi, buku pelajaran, hingga Al Quran, Juz Amma, dan Alkitab untuk anak-anak. Ruangan ini juga dilengkapi fasilitas Audio Visual, untuk para pengunjung yang ingin menonton film.

Kembali, dalam ruangan cukup luas yang digelari karpet biru ini, saya seperti menemukan “surga kedua”. Ya, karena ada banyak buku di sini! Hehehe. Bagian Anak dan Remaja ini dikelola oleh tiga orang. Bu Nina, Bu Sri, dan Bu Min.
Di hari pertama, tugas saya tak banyak. Malah bisa dikatakan hampir tak ada tugas. Saya sempat merasa tidak enak dengan tiga orang pengelola itu, namun mereka sendiri merasa belum ada yang perlu saya kerjakan. Tugas saya hanya menjumlah total pengunjung yang datang sejak dua hari sebelumnya, juga ikut membantu mengembalikan buku-buku yang sudah selesai dibaca ke rak sesuai dengan urutan masing-masing.

Selebihnya, let’s reading! Hehehe… Belum banyak buku yang saya baca habis di sini. Seingat saya baru tiga buku yang saya baca hingga usai, yaitu Kejarlah Daku, Kau Kuangkot karya Boim Lebon, Serenade karya Devishanty, dan Gita Cinta dari SMA karya Eddie D. Iskandar. Wah, saya langsung surprised saat menemukan buku itu, karena jujur saja, meski saya sudah lama tahu tentang tokoh fenomenal Galih dan Ratna, tapi baru kali ini saya membaca novelnya. Hahaha, katrok ya saya :D
#
Di hari Jumat ini pun, tugas saya hampir tak ada. Pagi ini, ada kunjungan dari TK Al-Hidayah yang membawa 55 orang siswa siswi TK yang langsung membuat kegaduhan di ruangan yang biasanya senyap ini. Agak siang sedikit, giliran MA Maarif NU yang membawa 41 siswi berseragam Pramuka-nya, dan mereka masuk bergantian, sekitar lima sampai tujuh orang.

Setelah itu, tak ada lagi, hingga tiba jam sebelas, dan layanan ditutup sementara sampai pukul satu siang nanti. Saya mulai sibuk merapikan buku-buku yang berserakan di meja. Dan saya menemukan sebuah majalah bernama Glow Up, yang dari headline-nya saja sudah berhasil membuat saya penasaran. Creative Writing, lengkap dengan nama Raditya Dika, dan dua penulis terkenal lainnya di sana.

Segera saja saya buka, halaman demi halaman, hingga sampai di halaman 14, saya menemukan artikel wawancara dengan personil band Efek Rumah Kaca, Cholil. Dari situ saya paham, bahwa mencipta lirik itu pada hakikatnya sama dengan menulis cerpen atau novel. Harus selalu menggali ide-ide baru.

Kemudian, pada artikel selanjutnya, ada ulasan tentang Pramoedya Ananta Toer dan karya-karyanya yang mayoritas bertema Revolusi, dan sangat kontroversial.

Barulah pada halaman berikutnya, saya menemui Raditya Dika, dengan headline Susah Menemukan Dukanya Menulis. Raditya Dika mengatakan, bahwa sebenarnya setiap orang adalah penulis. Ya, everyone is a writer,apalagi mereka yang punya akun sosial media, seperti Facebook dan Twitter. Menurutnya, daripada hanya menulis sebaris dua baris status, mengapa tidak sekalian dikembangkan menjadi cerita saja? Toh, buku-buku best seller-nya hampir semua bertema kehidupan sehari-harinya.
Raditya Dika juga punya tips menulis yang bertajuk 3 Elemen Penulisan Kreatif dalam Blog yang Bisa Menjadi Pedoman untuk Merintis Jadi Penulis, yang dikutip dari website pribadinya. Diantaranya:
1.     First Sentence yang Menarik, jika Anda ingin menulis, baik untuk sebuah buku atau dalam Blog, harus mempunyai first sentence (kalimat pertama) yang menarik. Karena menurutnya, jika kalimat pertama saja sudah menarik, maka pembaca akan penasaran dan membaca habis tulisan kita.
2.     Membuat Tulisan Ekonomis, bagi penulis Marmut Merah Jambu ini, tulisan yang baik adalah yang seperti musik, ada tempo teratur, ada jeda untuk menarik napas, da nada nada yang mengalir.  Kebanyakan orang mengatakan, draft pertama ditulis hanya untuk mengeluarkan apa yang ada di kepala. Draft kedua ditulis untuk memperbaiki yang sudah ditulis di draft pertama. Dan draft ketiga untuk membuat tulisannya bersinar. Jadi, jangan buru-buru ketika menulis, buatlah tulisan semenarik mungkin.
3.     Menemukan dan Menggunakan Voice Anda Sendiri, menurut lelaki 30 tahun ini, setiap penulis pasti punya voice-nya sendiri-sendiri. Voice yang khas akan membantu mencirikan diri dari penulis lain. Cara menemukan voice kita sendiri sangat sederhana, yaitu dengan cara banyak membaca dan berlatih. Dengan membaca, kita akan mendapatkan banyak referensi, dan dengan banyak berlatih kita bisa tahu cara penyampaian cerita yang paling baik menurut kita. Menulis, berlatih, dan jadilah berbeda dari orang lain.

Selain Raditya Dika, majalah yang tergolong tipis ini juga mewawancarai Ahmad Fuadi, penulis Negeri 5 Menara dan Ranah 3 Warna. Penulis yang terbiasa menulis buku harian sejak kecil ini pun memberikan empat tips agar bisa menjadi penulis yang sukses. Empat tips tersebut yaitu:
1.     Niat
2.     Menentukan yang Akan Ditulis, sebaiknya menulislah dari hal-hal yang kita tahu, peduli, dan pahami.
3.     Banyak Mencari Referensi
4.     Konsistensi, dengan mencicil tulisan setiap hari.
Wah, benar-benar tips yang keren! Hehehe… Semoga para pembaca yang hobi menulis bisa menerapkan tips tadi ya! Begitu pula saya sendiri.
#
Pukul setengah satu, saya makan siang bersama Bu Sri dan Bu Min, masih dengan lesehan di sudut ruang baca. Hari ini sebotol kecil air putih yang saya bawa harus rela tak terminum, karena Bu Sri membelikan saya es kelapa muda. Terimakasih banyak, Bu…

Di sela-sela menikmati menu masing-masing, kami sempat mengobrol. Saya menanyai dua wanita berjilbab itu, sudah sejak kapan bekerja di Perpustakaan Proklamator Bung Karno ini. Bu Min sudah bekerja di sini sejak 2004, sementara Bu Sri mulai masuk dua tahun kemudian.
Setelah makan, kami mulai menata buku kembali di rak. Ketika jam telah menunjukkan pukul setengah tiga, saya pun pamit pulang, karena jadwal pulang memang lebih cepat setengah jam di hari Jumat.
#
Terimakasih banyak, Bu Sri, Bu Min, dan Bu Nina, atas sambutan hangat, juga kesabaran, dan bimbingannya selama dua hari ini. Maaf jika saya tak banyak membantu selama di Anak dan Remaja. Ibu bertiga adalah keluarga baru pula untuk saya.
19 September 2014
Adinda R.D. Kinasih

Posting Komentar

0 Komentar