Sepiring Nasi Goreng di Tengah Malam

Bahkan, kau pun menjadikan tengah malam sebagai kawan, pemandu langkahmu, demi secuil rejeki...

Tengah malam di Malang. Hawa dingin yang menusuk gigilkan belulang. Aku, kami, masih terjaga di jalanannya yang dipadati beragam kendaraan, demi mencari penawar lapar yang sejak tadi menyerang.

Sejauh mobil mengukur aspalan, warung makan belum juga kami temukan. Ah, mengapa pula sepi sekali jalan ini? Aku yakin, di belahan Malang yang lain masih banyak para penyedia menu yang buka. Ah, sudahlah, apa saja! Aku sudah enggan lontarkan khayalku akan sajian yang ingin kunikmati malam ini. Apa sajalah! Karena kakiku sendiri juga tak henti berorasi, meracau akan pegal dan lelah yang menderanya sejak tadi.

Mobil berbelok. Satapak jalanan yang tak begitu padat menyapa kami. Mataku tertumbuk pada parkiran sebuah minimarket yang cukup luas. Kemudian, mobil memasuki pelataran paving block itu, dan berhenti. Aku yang hampir dibuai lelap, seketika menatap heran pada sebuah gerobak lawas di pinggir parkiran.
 
Dengan enggan kubuka pintu mobil, dan melangkah keluar menuju sebuah bangku panjang, tak jauh dari gerobak itu. Ayah dan Ibu sudah terduduk di sana, merangkai cakap. Lalu menanyai hidangan yang ingin kupesan. Nasi goreng saja. Nasi sangat kurindu, karena seharian ini dia belum menyapa perutku.

Sekilas kuamati sosok penjual nasi goreng yang sibuk meracik pesanan kami yang berbeda. Seporsi nasi mawut, seporsi bakmi goreng, dan dua porsi nasi goreng, untukku dan adikku. Dengan cekatan, lelaki berkulit gelap bertubuh gempal itu menyendok nasi dalam bakul plastik berwarna merah muda, kemudian memasukkannya ke dalam wajan yang sudah terisi minyak dan beraneka bumbu.

Pandanganku teralih pada langit yang sepi. Hanya kelam terhampar, tanpa cahaya bintang pun bulan yang berpendar. Tertegun aku, mendengar ucap ayah tentang angka jam dan menit yang merambati malam ini. Tengah malam begini, dan lelaki berambut cepak itu masih di sini, berteman dingin, deru mesin kendaraan, dan sendirian, demi secuil rejeki.

Sepiring nasi goreng tiba di tanganku. Disusul adik yang menyodorkan sekotak teh siap minum padaku, yang dibelinya di minimarket. Oh, ya, sepertinya sang pedagang memang tak menyediakan pelepas dahaga.
Kunikmati nasi goreng yang masih hangat itu. Enak juga. Entah, mungkin karena perutku yang sedang lapar, atau nasi goreng ini memang enak. Tak berapa lama, piringku kosong. Masih kusempatkan mencicipi bakmi pesanan ayah. Tak kalah enaknya.

Kusedot teh kotakku sambil memperhatikan dua lelaki yang tadi juga menikmati nasi goreng si Abang Gempal, tampak piring mereka sudah kosong, namun mereka belum pergi dari situ, asyik mengobrolkan pertandingan bola Arema melawan Filipina, yang sesekali ditimpali oleh si Abang Gempal dengan gaya bicaranya yang terkesan kasar dan keras.
Ayah juga menanyainya tentang pertandingan tadi, yang dijawabnya dengan keluhan, ia tertinggal siaran bola yang selalu menggetarkan euforia masyarakat seantero Malang itu.

Si penjual nasi goreng menyudahi kegiatannya memasak, kemudian mengeluarkan seteko kecil air putih, dilengkapi gelas kecil. Salah satu dari dua pemuda tadi langsung menuang dan meneguknya. Ah, aku tersenyum sendiri melihatnya.

Lalu, segalanya usai. Perut sudah tersenyum karena disapa makanan. Aku kembali ke mobil, dengan sisa teh kotak dalam genggaman, disusul adikku yang sudah tak sabar ingin melanjutkan mimpinya lagi. Segera, ayah dan ibu pun menyusul masuk mobil setelah membayar makanan yang terlahap tadi, ditambah memesan seporsi bakmi goreng untuk dibawa pulang.

Mobil melaju, meninggalkan Malang menyambut Blitar, dalam nafas malam yang makin menusuk tulang. Dalam mataku yang hampir terpejam, sayup kudengar suara ibu menyebut total rupiah atas makanan tadi, tiga puluh sembilan ribu lima ratus. Hmm, murah juga.

Untukmu, si Abang Gempal penjual nasi goreng, entah mengapa aku terinspirasi menuliskan ini... Mungkin karena ini adalah sepiring nasi goreng pertamaku, yang kunikmati di tengah malam, dalam hawa dinginnya kota kesayangan...

Posting Komentar

0 Komentar