"Sadari, bahwa setiap kita istimewa..."
Siang yang belum terlalu siang, pun pagi yang sudah tak bisa lagi disebut pagi. Seperti biasa, berkawan kesendirian, kulewati hari itu dengan beberapa dering pesan masuk. Melewati rentang jarak dengan kisah singkat yang tertuang dalam pesan itu, darinya, orang yang baru beberapa bulan ini menjadi bagian hidupku.
Dia, yang sama sepertiku, prematur, tapi juga diberi hydrocephalus dan kegagalan operasi luar negeri yang membuat kakinya harus disangga tongkat hingga kini. Dia, yang butuh waktu belasan tahun, hingga bisa mencapai titik ini. Menjadi pemilik kios sembako, toko online kaos, dan juga pemilik beberapa akun motivasi di Twitter. Menjadi setitik cahaya yang bisa menaklukkan keraguannya, membuatnya sanggup bertahan sendirian di salah satu wilayah Ibukota yang keras. Menelisik kisahnya, yang ia tuturkan dalam bahasa santai tapi ngena, membuatku lebih sadar satu hal.
Bahwa setiap manusia memiliki prosesnya masing-masing. Tuhan sudah menggariskan jalan hidup terbaik, waktu terbaik. Tuhan juga yang memberikan ujian, yang bagi-Nya terbaik untuk kita terima dan jalani.
Namun, mendadak terpaku, saat kubaca balasannya.
"Akhirnya sekarang, dikit-dikit udah ada yang percaya sama kemampuanku Dind... Ya, kamu tahu kan, aku sudah melewati banyak tahun yang menyakitkan. Kamu juga tahu kan, orang cacat kayak aku selalu diremehin."
Cacat. Apa itu, cacat? Istilah itu seringkali kudengar, namun masih saja terasa janggal jika ditulis, dibaca, apalagi diucap. Apakah aku ini juga tergolong orang cacat? Jujur, aku tak pernah mendapat doktrin seperti itu dari lingkunganku.
Aku, lahir 21 tahun lalu, dalam usia kandungan yang baru enam bulan. Hingga akhirnya membuat kaki dan tangan kananku berbeda. Kaki kananku jinjit, aku juga kidal. Namun, selama ini, belum pernah kudengar ada orang yang menyebutku cacat.
Apakah istilah itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang berjalan dengan tongkat? Tak punya tangan atau kaki lengkap? Buta? Tuli? Bisu? Atau yang fisiknya seperti aku?
Tidak! Bagiku tak ada kata cacat. Yang ada tinggal serangkaian huruf yang berbunyi, istimewa. Ya, setiap kita istimewa. Itu juga yang kuketik dalam balasan pesan untuknya. Bagiku, tak ada yang pantas disebut cacat, hanya karena fisik mereka yang "sedikit berbeda" dari yang lain. Hanya karena kemampuan mereka yang "sedikit terbatas" daripada yang lain.
Setiap kita istimewa, karena Tuhan menciptakan kita dengan lebih dan kurang yang pasti berbeda satu dengan lainnya.
Lalu, untuk apa Tuhan menciptakan para tunanetra, tunawicara, tunarungu, tunadaksa, orang berkursi roda, berpenyangga pada sebatang tongkat, atau orang seperti aku?
Mungkin agar kita menjadi pelengkap dalam hidup ini. Agar hidup tak dipandang terlalu monoton.
Lalu, mengapa kita ada? Mungkin, kita ada untuk menjadi "pembeda" diantara segala persamaan. Selalu bersyukur, dengan apa pun yang sudah dan pernah kita miliki...
0 Komentar