Tentang Seberkas Cahaya

Dini hari menyambut, saat obrolan itu dimulai. Ada aku dan ayah yang duduk menyimak kisah yang terlontar dari bibir ibuku yang melepas lelah sepulang dari Malang. Dari rumah dokter langgananku saat kecil dulu.

"Tadi lama di tempat Dokter Chandra, ngobrol tentang Aan. Itu lho, anaknya Dokter Chandra yang kayak kamu. Sekarang dia di Jakarta lho, punya ruko dan terima pesanan kaos."

Aku tertegun, sesaat mencoba mengingat nama singkat itu. Aan...Aan...hmm..sepertinya nama itu pernah akrab di telingaku saat aku baru menginjak dunia balita. Tapi bagaimana wajahnya, keadaan kakinya, aku masih buta. Hanya bisa mengenalnya lewat rentetan kisah, yang kembali terlisankan di dini hari itu.

Dan mengalirlah lanjutan kisah itu dari ibu, sosok Aan yang hidup mandiri di Jakarta, ke mana pun ditemani Busway atau Kopaja, padahal ia selalu ditemani tongkat penyangga ke mana pun melangkah.
Wah, Busway? Kopaja? Terbayang di benakku betapa hiruk pikuk Ibukota itu. Dan seorang Aan sanggup menerjang keramaiannya, bahkan menjadi salah satu bagian kepadatan kota itu, sendirian!

Kututup dini hari itu dengan berjuta penasaran. I wanna know you more, Kak Aan...


***
Esoknya, terimakasih Allah, nomor ponsel Dokter Chandra sudah tersimpan di kontakku. Awalnya iseng, kukirim pesan pada beliau. Menanyakan kabar, mengenalkan siapa aku, sekaligus mencari tahu di mana aku bisa bertemu putranya itu. Dan Alhamdulillah, balasan beliau sangat ramah kubaca. Ada rasa haru menyeruak seketika saat kubaca kata-kata ini.
"Adinda harus semangat ya! Semangat!!! Semangat!!!! Harus maju dan terus berusaha, ya! Insya Allah Adinda pasti berhasil, amin...amin..amiiin..."
Subhanallah, terimakasih Dokter....
Tak lupa, Dokter yang hingga kini masih enerjik itu memberiku semua link akun sosial media milik Kak Aan, agar aku bisa lebih mudah ngobrol dengannya.

Segera setelah itu, kubuka internet, kucari semuanya, mulai dari Twitter, Facebook, dan Blog-nya. Sebenarnya masih ada beberapa akun lain, tapi aku merasa cukup tiga jejaring itu saja yang kutelusuri. Di Twitter, ketemu, dan segera ku-follow. Di Facebook juga ada, dan segera ku-add. Limabelas menit kemudian, pemberitahuan muncul, bahwa sudah ada konfirmasi darinya. Alhamdulillah...

Burhanuddin Muhammad Yusuf Annuri. Itu nama yang tertera pada akun Facebook-nya. Nama yang bagus. Kuketik sapa di dindingnya, juga mengenalkan siapa aku. Dan saat itulah obrolan dimulai. Menanyai kesibukan kini, dan di mana kini ia tinggal. Benar! Ia di Jakarta. Sepertinya dia sosok humoris yang low profile, itu yang kutangkap dari obrolan mayaku dengannya.
Perbincangan itu pun berlanjut dalam Direct Massage milik Twitter. Di sinilah aku mulai menanyakan hal yang mungkin paling sensitif untuknya. Keadaan kakinya.

Awalnya aku yang merasa tak enak saat akan menanyainya tentang itu. Tapi, di luar dugaanku, dia malah santai menanggapinya. Rentetan kalimat yang ia kirim sebagai balasan membuat perasaanku campur aduk, kagum, haru, semangat, bahkan iri, menjadi satu. Ini katanya.

"Yang membuat hidupku kuat dan tegar adalah tujuan hidupku, Dinda. Aku hanya ingin bapak ibu bahagia dan bangga karena punya anak seperti aku. Itu aja. Aku nggak butuh hal yang aneh-aneh di dunia ini, aku cuma pengin bapak ibuku bahagia, bangga, dan percaya sama anak satu yang punya banyak kekurangan...:) Kamu jangan takut dan jangan jadi orang yang lemah karena fisik. Kamu harus jadi orang yang kuat dan bisa lebih hebat dari orang yang lebih sempurna."

Aku hanya bisa berkata, Kak Aan, kata-kata sederhanamu bisa ngena! Dia juga berkisah, bahwa untuk meyakinkan orangtuanya bahwa dia bisa mandiri, itu butuh waktu belasan tahun.

***
Kumatikan koneksi internetku, namun bukan berarti kisah usai sampai di situ saja. Kak Aan berbaik hati memberi deretan angka yang menjadi nomor ponselnya padaku! Wah, terimakasih banyak, Kak! :)
Kak Aan (duduk sambil mengapit kruk), bersama keduaorangtua dan saudarinya
Dalam pesan singkat, cerita diteruskan. Lagi-lagi aku digelayuti penasaran, bagaimana awal mula kondisi kakinya menjadi seperti sekarang. Dan lelaki yang lahir pada 1983 ini pun berkenan mengisahkannya padaku. Ternyata, dia terlahir prematur, seperti aku. Sempat dibawa ke Australia untuk dioperasi, namun ada kesalahan dalam prosedur operasi yang dijalaninya di Australia beberapa tahun silam itu. Itu menyebabkan kaki kirinya melemah, dan akhirnya menggunakan tongkat penyangga hingga sekarang.

Oh ya, aku juga bertanya pada Kak Aan, apa saja kendala yang dihadapinya dengan kondisi yang seperti ini? Dia menjawab, kendalanya hanya dalam pertemanan. Dia bilang, sebagian besar temannya berbaik hati padanya hanya saat ada butuhnya saja. Kok kita hampir sama, Kak?
Kutanyai lagi, bagaimana ia menghadapi semua itu. Dan masih sama, dia menjawab dengan bahasa yang simple tapi ngena! Dia sudah terbiasa sendirian menghadapi berbagai masalah, jadi ia hanya mendiamkan teman-temannya yang seperti itu. Satu kalimat yang paling "ajaib" buatku, "...yang penting aku berusaha keras untuk diriku sendiri saja..."
Itulah Kak Aan, yang dengan kesederhanaannya bisa menginspirasi banyak orang... 
 ***
Tentang seberkas cahaya, yang kini mulai benderang... Dengan kekurangan yang dimilikinya, ia justru menjadi lebih kuat dari orang-orang di sekelilingnya...
Kuharap aku juga bisa sekuat Kakak... Saling mendoakan ya, Kak...
Terimakasih atas inspirasi luarbiasa ini.

Kuharap aku bisa segera bertemu sosok yang penuh cinta, memelihara cahaya ini hingga perlahan kini ia bisa sinari dunia... Semoga...
***
Untuk semua, yang selalu ingin bersemangat menjalani kerasnya hidup... 

Posting Komentar

0 Komentar