"Segala sesuatu ada waktunya. Tidak semua pemikiran harus dikeluarkan saat ini juga. Tidak semua perasaan harus diutarakan sekarang juga.'' —fiersa besari
***
Tak menyangka. Itu yang pertama terbesit di kepala saya saat membaca balasan pesannya. Sore ini saya memang mengirim pesan untuk menanyakan salah satu kutipan Fiersa Besari favoritnya.
Dan saya tak menyangka, karena kutipan di atas punya sedikit korelasi dengan catatan ini.
***
Gadis ini biasa saya panggil Ara. Gabungan dari huruf terakhir di nama depan, dan dua huruf awal nama belakangnya. Lidah saya lebih suka dengan Ara, hampir senada dengan nama saya, Dara.
Awal perkenalan kami disaksikan sebatang cokelat milik saya yang jatuh padanya atas kehendak semesta, dalam acara peluncuran Jejak-Jejak Kota Kecil 2016 lalu.
Bertemu lagi dan bertukar sapa pertama kali dua minggu kemudian di koridor Perpustakaan Bung Karno, menandai hadirnya gadis pemalu ini dalam hidup saya.
***
Sejak saat itu, nama Ara ada dalam chat history Whatsapp saya. Hanya di media sosial itu kami saling bercerita. Dia tak punya Facebook, dan saya tak punya Instagram. Kami juga beberapa kali saling meminjamkan buku masing-masing.
Dari sejumlah temu dan bincang-bincang itulah saya mengenal Ara dari sisi-sisi yang lain. Ternyata kesan pemalu itu hanya ada di awal. Seorang Ara tak se-pemalu itu. Dia adalah sosok ceria yang selalu punya cara menggemakan tawa sekitarnya.
Istimewanya lagi, gadis penyuka makanan pedas ini pun piawai merangkai kata dalam bait-bait puisi.
***
Saya pun harus berterimakasih pada penyedia jasa unduh film layar lebar di kota ini. Karena tempat inilah yang turut mengaribkan saya dan Ara.
Kegemaran kami akan menonton film, membawanya sering menuju tempat itu untuk mengunduh film-film terbaru. Tapi film lama pun masuk hitungan jika ceritanya bagus.
Tak jarang, ia menanyakan film apa yang ingin saya tonton, dan mengunduhkannya. Sampai-sampai, salah satu rekan di FLP menjuluki Ara sebagai "gudangnya film".
***
Dari sekian banyak momen yang saya alami dengannya, ada empat yang paling membekas.
Pertama, sekotak eskrim yang tiba-tiba disodorkan ke hadapan saya. Kala itu, di Rumah Kedua, saat sore menuju senja. Ara datang dengan senyum lebar sambil menyerahkan kotak eskrim.
Dalam kejut, saya bertanya ini untuk apa. Tak disangka, ia sedang melunasi janji yang kami sepakati main-main dalam chatting beberapa hari sebelumnya. Padahal saat itu saya betulan bercanda saat meminta eskrim padanya.
***
Kedua, pada sebuah Ahad yang terik. Saya tengah bersiap berangkat rutinan FLP, saat bel berbunyi tiba-tiba. Betapa terkejutnya saat saya menemukan Ara di depan pintu.
Dia baru pulang dari sebuah kajian, katanya. Dan ingin mampir ke rumah, sekaligus berangkat ke perpustakaan bersama saya. Ada-ada saja, pikir saya saat itu.
Ketiga, dia pernah mampir ke Rumah Kedua hanya untuk menyerahkan file film pesanan saya. Padahal saat itu dia baru dari kampus untuk mengurus skripsi sejak pagi, dan belum pulang ke rumah sama-sekali.
***
Dan keempat, saat ia ingin sekali mencoba Thai Tea di salah satu gerai yang baru buka. Padahal saat itu cuaca sedang hujan, dan dia pun sedang flu.
Saya mencegah dan sedikit memarahinya, namun kemudian tidak tega melihat wajah (sok) innocent-nya itu. Hahaha. Jadilah, saya pun setuju ikut mencoba teh Thailand itu. Dia berangkat untuk membeli, sementara saya menunggu di Rumah Kedua.
Hingga hampir satu jam, ia belum kembali juga. Separuh panik, saya mengontaknya, tapi tak kunjung dijawab. Beberapa menit kemudian, dia muncul di hadapan dengan tiga gelas Thai Tea dan cengiran khasnya.
Ternyata, ban motornya sempat kempes di perjalanan, dan agak sulit menemukan tukang tambal ban. Saya gemas sekali saat itu, rupanya gadis satu ini keras kepala juga.
***
Namun, 12 Desember lalu seakan memupus semua keceriaannya. Berita wafatnya sang Bapak yang tiba-tiba ia kabarkan di grup Whatsapp menjadi penyebabnya.
Terbawa oleh pribadinya yang gemar bercanda, awalnya saya pikir dia tak serius dengan kabar ini. Tapi ternyata ini bukan gurauan. Ara sungguh tengah kehilangan senyumnya.
Beberapa teman langsung takziyah ke rumahnya petang itu juga. Sementara saya, hanya bisa terdiam di rumah dengan tak percaya. Chat history milik Ara terbuka, tanpa saya tahu harus mengetik apa di sana selain kalimat istirja'. Otak saya merangkai banyak kata, namun jemari tak kuasa mengetikkannya.
Teringat pula bahwa empat hari lagi ia akan wisuda. Ah, Ara, kenapa ini harus terjadi?
Akhirnya, sebuah puisi sederhana saya kirimkan keesokan harinya. Karena bagi saya, kalimat "yang sabar ya" sudah terlalu sering dipakai.
***
Sehari setelah wisudanya, saya berhasil menemukan rumahnya, setelah berputar-putar dan bolak-balik arah, dan salah alamat.
Jalanan depan rumah menyisakan becek selepas hujan. Saya tiba di sana pukul setengah satu, bertepatan dengan acara tahlil tujuh harian. Wajah sendu Ara menyambut saya. Ada semacam perih di hati menyaksikan senyumnya.
Dengan canggung, saya memasuki halaman. Teras sudah dipadati para undangan tahlil yang tengah menyantap makan siang. Saya berhenti pada sebuah bangku panjang di sudut teras sisi kiri.
***
Betapa terkejutnya saat Ara kembali dengan dua piring soto. Apa ini? Saya tidak ingin merepotkan begini. Tapi akhirnya, bujukan Ara berhasil. Berdua kami melahap soto itu. Di sela-sela makan, Ara sedikit berkisah tentang sang Bapak. Ada sesak di dada saya melihat matanya yang berkaca-kaca.
Saya tak terlalu banyak bicara saat itu. Saya akui, saya bukan penghibur yang baik. Bagi saya, percuma saja merangkai kata motivasi sebanyak apapun. Karena sejatinya, yang dapat menguatkan kita adalah diri kita sendiri.
***
Maka, saya justru mencoba melipur laranya dengan berbagi sedikit cerita lucu dan gurauan. Saya pun menanyakan acara wisudanya. Kehadiran Kuning, kucing Ara, yang membuat saya panik sendiri juga cukup berhasil mengembalikan tawanya meski sejenak.
Di ujung jumpa, saya hanya bisa menyampaikan dua hal. Bahwa segala sesuatu punya masa, termasuk kepergian sang Bapak. Dan meski Bapak telah pergi, ada yang akan selalu ada. Ialah kenangan dan doa.
***
26 Desember lalu, Ara mampir ke rumah saya dengan gamis setengah basah. Lagi-lagi, demi meng-copy file film pesanan saya.
Seperti biasa, obrolan seperti tak pernah habis jika dirangkai bersamanya. Gelak tawa turut melengkapinya.
"Akhir tahun adalah saat sebuah kepergian."
Sejenak tertegun saat saya dengar kalimat itu. Teringat sejumlah kabar pisah dan berita kepergian yang datangnya tiba-tiba.
"Dan kemudian, kita menyambut tahun baru dengan keadaan yang benar-benar baru," saya tambahkan saja begitu.
"Benar. Karena orang-orang yang tadinya ada di sisi kita sudah pergi." ujarnya kemudian.
***
Dan sebelum pamit, Ara pun berkata ia akan mengakrabi sunyi untuk beberapa lama. Terperanjat, saya bertanya akan ke mana ia pergi. Namun Ara hanya tertawa.
Keesokan harinya, sebuah foto koper di status Whatsapp Ara sedikit menjawab teka-teki itu. Lengkap sudah. Satu lagi sahabat saya pergi. Sepertinya judul Mengakrabi Sunyi itu dipilih bukan tanpa alasan.
Dan sepertinya, akhir tahun memang saat terbaik untuk pergi dan memulai babak baru. Dan hidup selalu punya cara mengejutkan untuk menunjukkan siapa yang akan menghilang dan yang merasa kehilangan.
***
Ara, di manapun kamu saat ini, doa saya bersamamu. Tetaplah tertawa untuk menguatkan dirimu. Di sini, saya tetap menanti kembalimu, kapan pun.
Terimakasih untuk canda dan cerita yang telah dibagi, juga pelajaran hidup yang kamu beri. Maafkan saya jika sering merepotkan dan memberati boncengan motormu.
Sampai bertemu lagi. Tetap semangat, Gadis Bunga Matahari![]
4 Januari 2018
Adinda RD Kinasih
Behind the Pict : Diabadikan pada suatu Ahad malam. Kala gerimis menyapa kota, di salah satu kafe yang terlalu riuh. Maafkan saya, tapi catatan ini kurang lengkap tanpa foto ini.
0 Komentar