This is for you, Mr. Army. Hope you’ll get well soon…
Sore itu, aku kembali asyik dengan ponsel, mengobrol dengan beberapa sahabat merah putih lewat BBM. Salah satunya, Donny, yang kebetulan saat itu sedang cuti dari tugasnya di Angkatan Darat dan pulang ke Blitar. Beberapa hari ini, aku cukup sering bercakap dengannya. Sebenarnya hanya untuk meminta kontribusi idenya dalam cerpen yang sedang kugarap, hehehe. Beberapa kali ia mengajukan idenya, namun bagiku kurang pas. Begitu pula usulanku yang menurutnya tidak cocok.
Dan di 28 April lalu, aku menderingkan BBM-nya lagi, masih untuk membahas cerpenku. Namun, tak seperti hari-hari sebelumnya, Senin sore itu Donny memberi jawaban yang aneh bagiku.
”Dinda, aku nggak paham. Maaf ya, badanku lagi nggak enak banget nih…”
Begitu yang tertulis di kotak obrolan BBM-ku. Aku mengernyitkan dahi. Ada apa dengan lelaki yang biasanya ceria ini? Apa dia sakit?
*
Penasaranku berubah jadi cemas, saat esoknya kubuka BBM-ku dan menemukan satu pemberitahuan. Ternyata Donny baru saja mengubah DP BBM-nya, sekumpulan obat-obatan, lengkap dengan status baru, “Makasih permennya, Dokter..”
Seketika, langsung kukirimkan komentarku, menanyakan apa yang membuat ia disodori obat sebanyak itu. Dan makin terkejut saat dia menjawab ada masalah yang terjadi pada jantungnya. Ya Allah, Donny, kenapa bisa begini?
Hingga beberapa jam kemudian, DP BBM-nya berganti lagi. Aku makin terkejut. Ternyata lelaki hitam manis itu sudah terbaring di ranjang rumah sakit, dengan selang infus membelit tangan kanan dan hidungnya. Separah itukah hingga ia harus dirawat inap?
*
Segera kuhubungi Ade pada Rabu malam itu. Ternyata dia sudah mendengar kabar itu lebih dulu dan sudah berada di rumah sakit untuk menemaninya. Aku ingin sekali menjenguknya, tapi siapa yang bisa berangkat bersamaku?
Ade memberitahuku, bahwa esok Pipit dan Helin akan menjenguk Donny. Tapi sayang, mereka hanya menaiki satu motor. Untung saja Ulfa, yang baru tiba dari Surabaya mengontakku, dan berkata bahwa Jumat ini dia akan menengok Donny. Syukurlah, semoga Jumat ini aku benar-benar bisa menuju ke sana.
Kuselipkan harap sebelum mata terpejam. Donny, semoga kamu baik-baik saja…
*
Jumat tiba. Entah kenapa semangatku meningkat berlipat-lipat pagi ini. Padahal seharusnya aku deg-degan, karena lusa aku akan menjalani UAS. Ah, ya, mungkin karena hari ini ada Afgan di Indonesian Idol, hehehe. Eh…bukan, bukan! Ini semua karena balasan Ulfa, yang baru kubaca setelah BBM kunyalakan lagi. Katanya, rencana menjenguk Donny hari ini jadi, dan Ade yang akan menjemput dan berangkat ke rumah sakit bersamaku. Ade? Aduh, sejujurnya aku tak ingin merepotkan banyak orang.
Aku mengirim pesan singkat untuk Ade yang menanyakan benar tidaknya ia akan menjemputku pagi ini. Dan ia menjawab dalam waktu tak terlalu lama.
“I’ll go there now. Doesit okay if I pick you up with a motorcycle?”
Membacanya, aku tersenyum sendiri. Ade…Ade. Nggak apa-apa kok. Aku pasti bisa, Insya Allah…
Jam delapan lebih sedikit, matic hitam itu terparkir di halaman rumahku. Terlihat sosok tinggi besar Ade yang terbalut jaket hitam tersenyum lebar padaku. Setelah basa-basi sejenak, kami memutuskan berangkat. Seperti biasa, sebelum naik ke jok motor, aku meminta Ade menahan motornya kuat-kuat. Itu yang harus selalu kulakukan setiap kali ada seseorang yang baru memboncengku pertama kali. Aku tak ingin insiden di Malang bersama Budeku dua tahun lalu itu terulang lagi, di mana saat aku akan turun dari motor, Budeku tidak menahan motornya kuat-kuat, hingga akhirnya motor itu pun terguling, bersama dua penumpangnya sekaligus. Hmm…
Untunglah Ade kuat menahan motornya, hingga aku dapat naik dengan mudah dan cepat. Maaf ya, De, kalau cara naikku menyusahkanmu…
*
Ternyata, kami tidak langsung menuju rumah sakit. Ade mengajakku ke rumah Ulfa, di sebuah perumahan di daerah Sananwetan. Dalam perjalanan, Ade menceritakan kronologinya hingga Donny dirawat kini. Ternyata ia menderita kelelahan hebat, setelah masa cutinya dihabiskan untuk ke Jember, lalu langsung ke Surabaya bersama Ade. Sesampainya rumah Ulfa, Ibundanya langsung menyambut kami ramah. Ada sedikit keterkejutan di wajah beliau saat melihatku, hehehe…
Ibu Ulfa menemani kami ngobrol, sembari menunggu Ulfa yang sedang berganti pakaian. Setelah sekitar duapuluh menit, Ulfa muncul di ruang tamu dengan setelan rok panjang dan kemeja biru, lengkap dengan jilbab hitam. Kami segera mohon diri dan meneruskan perjalanan lagi. Sebelum mencapai rumah sakit, kami mampir ke kios buah, membeli bawaan untuk Donny.
Mardiwaluyo pukul setengah sepuluh pagi. Ade dan Ulfa memarkir motor di pelataran yang padat. Ah, rumah sakit ini mengembalikan ingatanku pada tahun lalu, saat Ayah juga sempat menjadi pasien di sini selama beberapa hari.
Kami segera memasuki gedung, menuju ruangan tempat lelaki yang kini berdomisili di Jakarta itu dirawat. Ternyata ruangan Paviliun Cepaka Dua itu ada di lantai atas. Mau tak mau aku harus menaiki tangga. Ya, tak apa, sekalian olahraga. Tapi, belum juga kami sampai di atas, sosok Donny terlihat di bawah. Ia duduk di kursi roda, bersama sang Ibu dan perawat yang membantu membawakan botol infusnya.
Donny terlihat surprised dengan kedatangan kami. Buru-buru ia turun dari kursi roda dan berjalan menaiki tangga. Melihat itu, Ibunya langsung berteriak cemas, meminta Ade membantu putranya berjalan. Tapi Donny enggan menerima uluran tangan Ade.
“Udahlah, Bu. Aku nggak apa-apa! Kayak apa aja, pakai digandeng segala!” ucapnya dengan santai. Aku dan yang lain hanya geleng-geleng kepala melihatnya.
Segera kami bertiga, bersama Donny dan ibunya memasuki kamar rawat untuk dua pasien itu. Ibu Donny menyalami kami, dan sama seperti ibu Ulfa tadi, beliau juga terkejut melihat kehadiranku. Donny, yang sudah kembali ke tempat tidur menyalami kami bergantian. Wajahnya terlihat lebih ceria.
“Din, aku kan minta dibawain sesuatu. Mana?” candanya sambil menengadahkan kedua tangannya, siap-siap menerima sesuatu. Aku hanya tertawa. Kami segera terlibat obrolan seru penuh canda bersama Donny, yang sesekali ditimpali ibunya.
Beberapa menit kemudian, Pipit datang. Obrolan semakin mengasyikkan, karena kemudian datang pula Rendik, Edo, Niko, juga teman Pipit.
Rasanya sudah lama sekali tak melihat Edo. Mungkin selama ini aku hanya bertemu dengannya dalam BBM, lewat pemberitahuan status-status dan DP barunya. Ia kini menjadi polisi di Kediri, dan hari ini dia langsung datang dari Kediri demi menengok Donny.
Begitu pula Niko. Selama ini, bisa dikatakan, aku sama sekali tak tahu kabarnya. Lelaki yang kini berkacamata itu rupanya sudah punya usaha toko kucing. Ade, Edo, dan Niko malah menggelar tikar di dekat ranjang Donny, sambil melahap salak dan meneruskan perbincangan. Aku, Ulfa, dan Pipit duduk berhimpitan di sofa, dan Rendik berdiri di dekat Donny. Beberapa kali petugas rumah sakit keluar masuk untuk mengecek keadaan Donny dan mengganti infusnya. Salah satu dari mereka meminta beberapa dari kami keluar ruangan, karena dianggap terlalu gaduh. Tapi, setelah petugas itu pergi, kami malah kembali ke posisi masing-masing.
Aku, Pipit, dan Ulfa berkali-kali mengingatkan Donny agar tak terlalu banyak menggerakkan tangan kanannya, agar cairan infus bisa mengalir lebih lancar. Kami juga memaksanya menghabiskan jus jambu yang disediakan rumah sakit, demi mengembalikan kadar trombositnya, meski ia berkata bahwa jus itu pahit. Maaf ya, Pak. Ini juga demi kesembuhanmu…
Jam setengah duabelas siang, Ade, Edo, Rendik, Niko, dan teman Pipit menuju masjid untuk Shalat Jumat. Niko malah sekalian pamit pulang, dengan alasan akan mengecek tokonya.
Tinggalah kami bertiga bersama Donny. Ia sempat menceritakan semua yang terjadi padanya sebelum ia menginap di rumah sakit ini. Donny juga heran, mengapa hampir semua teman SDI di BBM mengetahui bahwa ia sakit. Perlahan kudekati dia, dan meminta maaf sambil berkata bahwa akulah yang menyebarkan kabar sakitnya Donny pada mereka. Mendengar itu, Donny agak kaget, namun kemudian tertawa. Sekali lagi kujelaskan, bahwa aku menyebarkan itu tak bermaksud apa-apa, hanya agar mereka ikut mendoakan untuk kesembuhan Donny. Dengan nada ringan, Donny mengamini.
Sekitar jam setengah satu, makan siang Donny datang. Lagi-lagi, kami setengah memaksanya agar segera melahap makanan itu. Sebelum ia sempat berkelit, Pipit sudah memindahkan sayur dan lauk ke piring, dan mulai menyuapinya. Lelaki berkaus abu-abu dan bercelana pendek hitam itu hanya bisa menurut.
*
Selepas shalat Jumat, Ade, Edo, Rendik, dan teman Pipit kembali ke ruangan Donny. Beberapa saat mereka terlibat diskusi bersama Ulfa dan Pipit. Dan akhirnya, kami harus segera pulang siang ini juga. Terlebih Ade, yang akan segera menjemput adiknya di SMA 3. Aku menurut saja, tapi seperti biasa, sebelum beranjak aku minta foto bersama dulu. Teman Pipit bersedia mengambil gambar kami bertujuh dalam beberapa jepretan. Sayangnya Niko tak sempat ikut foto.
Aku pun kembali ke rumah, masih bersama Ade.
*
Donny, mungkin hanya tulisan sederhana ini yang bisa kubingkiskan buatmu. Selamat menikmati oleh-oleh dariku ya, Pak ^_^. Dan kami harap, kehadiran kami sejenak tadi bisa mengembalikan tawa, semangat, dan kesehatanmu!
Dan untuk kalian, Ulfa, Pipit, Edo, Rendik, dan Niko, terimakasih telah mengisi reuni singkat penuh keceriaan ini. Ade, terimakasih banyak. Maaf, maaf banget kalau aku merepotkanmu.
Kuharap suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi, dan semua dalam keadaan sehat ya. One thing that I can say, you all are my remarkable friends. Forever…
Blitar, 2 Mei 2014
Adinda Rahma Dara Kinasih
2 Komentar
Sahabat merah putih?
BalasHapusTeman SD 😀
BalasHapus